makalah matkul pengantar ilmu politik
MAKALAH
KONSTITUSI
SEBAGAI HUKUM DASAR INDONESIA
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pengantar ilmu politik
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pengantar ilmu politik
Disusun oleh :
1.
Dini Rusdiani
2.
Kensiwi Naraswati
3.
Riska Agustiani
4.
Sea Agustin
5.
Laila Yuniawati
6.
Maryam Ramadanti
7.
Rita Purwanti
8.
Hilman Bahreshi
9.
Annisa Nururrohmah
PROGRAM STUDI
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVESITAS
GALUH CIAMIS
2011/2012
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb
Puja
dan puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
ridhoNya penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini. makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah pengantar
ilmu politik dengan judul “konstitusi sebagai hukum dasar negara
indonesia” Selain itu, makalah ini juga dijadikan sebagai pencerahan mengenai sejarah,
pelaksanaan,pergantian dalam konstitusi yang berlaku pada suatu negara seperti
indonesia contohnya.
Makalah
ini dibuat sebagai upaya untuk mendeskripsikan seperti apa pentingnya sebuah
konstitusi dalam suatu negara.
Penyusun
berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun khususnya dan secara umum
bagi para pembaca sebagaimana pada fungsinya makalah ini yaitu untuk mengetahui
sejauh mana pelaksanaan konstitusi di indonesia.
Ciamis,
5 desember 2011
penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Pada dasarnya konstitusi merupakan dasar sebuah negara itu berdiri. maka
dari itu, konstitusi berperan penting dalam mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal tersebut mendorong keingintahuan kami sebagai mahasiswa fakultas
ilmu sosial dan ilmu politik untuk mempelajari mengenai arti dan penerapan
konstitusi itu sendiri khususnya di
Indonesia.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar
belakang tersebut, maka kami merumuskan maasalah sebagai berikut :
1.
Apa penertian dari konstitusi?
2.
Apa tujuan dan nilai konstitusi?
3.
Apa saja unsur-unsur konstitusi?
4.
Bagaimana konstitusi dan pembagian
kekuasaan di Indonesia?
5.
Bagaimana perkembangan konstitusi di
Indonesia?
6.
Apa saja penyimpangan-penyimpangan
konstitusi di Indonesia?
1.3
METODE
PENELITIAN
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi, atau cara serupa yaitu melalui
pendekatan prosesual untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan konstitusi.
Teknik pengumpulan data yaitu melalui pencarian dari berbagai sumber yang
tersedia di media cetak seperti buku dan media elektronik.
1.4
TUJUAN
Penyusunan
makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pengantar
ilmu politik dan sekaligus menambah wawasan kami khususnya mengenai konstitusi
dan penerapannya di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Konstitusi
1.1
Pengertian Umum :
Dalam
arti sempit, konstitusi adalah Undang-Undang Dasar, yaitu satu atau beberapa
dokumen yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok
atau dasar dari ketatanegaraan suatu Negara. Contohnya adalah, The Constitution of The United States of
America yang berarti Undang-Undang Dasar Amerika Serikat.
Dalam
arti menengah, konstitusi adalah hukum dasar, yaitu keseluruhan aturan dasar
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur bagaimana suatu
pemerintahan diselenggerakan dalam suatu Negara. Contohnya adalah, dalam
Belanda kata constitutie berarti
hukum dasar yang terdiri atas grondwet
(grond berarti dasar, dan wet berarti undang-undang) atau Undang
Undang Dasar dan Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan.
Dalan
arti luas, konstitusi adalah hukum tatanegara, yaitu keseluruhan aturan dan
ketentuan (hukum) yang menggambarkan sistem
ketatanegaraan suatu Negara. Contohnya adalah, istilah Constitutional Law dalam bahasa Inggris
yang berarti Hukum Tatanegara.
1.2
Pengertian Konstitusi Secara Etimologis :
Konstitusi
berasal dari bahasa Perancis yaitu Constituer
yang artinya membentuk. Dalam kaitan ini, konstitusi diartikan sebagai
pembentuk Negara.
Dalam
bahasa Belanda konstitusi disamakan dengan istilah Grundwet (Grund = Dasar, Wet = Undang-undang)
Dalam
bahasa Latin konstitusi berasal dari gabungan dua kata yaitu Cume yang berarti bersama dengan dan Statuere yang berarti membuat sesuatu
agar berdiri atau mendirikan, menetapkan sesuatu, sehingga menjadi Constitution.
Dalam istilah bahasa Inggris Constution atau konstitusi memiliki
makna yang lebih luas dari undang-undang dasar. Yakni konstitusi adalah
keseluruhan dari peraturn-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Dalam terminilogi hukum Islam Fiqh Siyasah konstitusi dikenal dengan sebutan DUSTUS yang berati kumpulan faedah yang mengatur dasar dan kerja
sama antar sesama anggota masyarakat dalam sebuah Negara.
1.3
Pengertian Konstitusi Menurut Para Ahli :
Menurut
pendapat James Bryce, konstitusi
adalah suatu kerangka masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan
melalui hukum. Dengan kata lain konstitusi dikatakan sebagai kumpulan
prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak rakyat dan
hubungan diantara keduanya.
Menurut K.
C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu
Negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur /memerintah dalam
pemerintahan suatu negara.
Menurut
Herman Heller, konstitusi mempunyai
arti luas daripada UUD. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga
sosiologis dan politis.
Menurut
Lasalle, konstitusi adalah hubungan
antara kekuasaaan yang terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang
mempunyai kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara angkatan
perang, partai politik dsb.
Menurut
L.j Van Apeldoorn, konstitusi memuat
baik peraturan tertulis maupun peraturan tak tertulis.
Menurut
Koernimanto Soetopawiro, istilah
konstitusi berasal dari bahasa Latin Cisme
yang berarati bewrsama dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar
berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan secara bersama.
Menurut
Oliver Cromwell Undang-Undang Dasar itu merupakan “Instrumen of Govermen”, yaitu bahwa Undang-Undang dibuat
sebagai pegangan untuk memerintah. Dalam arti ini, Konstitusi identik dengan
Undang-undang dasar.
Menurut
F. Lassalle, konstitusi sesungguhnya
menggambarkan hubungan antara kaekuasaan yang terdapat didalam masyarakat
seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata didalam masyarakat, misalnya
kepala Negara, angkatan perang, partai politik, buruh tani, pegawai, dan
sebagainya.
Menurut
Prayudi Atmosudirdjo, konstitusi
adalah hasil atau produk sejarah dan proses perjuangan bangsa yang
bersangkutan, Konstitusi merupakan rumusan dari filsafat, cita-cita, kehendak
dan perjuangan suatu bangsa. Konstitusi adalah cermin dari jiwa, jalan pikiran,
mentalitas dan kebudayaan suatu bangsa.
Menurut
Carl Schmitt, konstitusi dibagi dalam
4 pengertian yaitu :
a) Konstitusi dalam arti Absolut mempunyai 4 sub pengertian. Diantaranya adalah Konstitusi
sebagai kesatuan organisasi yang mencakup hukum dan semua organisasi yang ada
di dalam Negara. Konstitusi sebagai bentuk Negara. Konstitusi sebagai faktor
integrasi. Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum yang tertinggi
di dalam Negara.
b) Konstitusi dalam Artoi Relatif dibagi menjadi 2 pengertian, yaitu Konstitusi sebagai
tuntutan dari golongan borjuis agar haknya dapat dijamin oleh penguasa dan
konstitusi sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil (konstitrusi dapat berupa terttulis) dan konstitusi dalam
arti materil (konstitusi yang dilihat
dari segi isinya).
c) Konstitusi dalam arti Positif adalah sebagai sebuah keputusan politik yang tertinggi
sehingga mampu mengubah tatanan kehidupan kenegaraan.
d) konstitusi dalam arti Ideal yaitu konstitusi yang memuat adanya jaminan atas hak asasi
serta perlindungannya.
2. Tujuan dan Nilai Konstitusi
2.1 Tujuan Konstitusi
Tujuan
adanya konstitusi secara ringkas dapat diklasifikasikan menjadi tiga tujuan,
yaitu sebagai berikut :
a. Bertujuan untuk
memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik;
b. Bertujuan untuk melepaskan
kontrol kekuasaan dari penguasaan sendiri;
c.
Bertujuan untuk memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam
menjalankan kekuasaannya.
2.2 Nilai Konstitusi
Menurut
Struyken, UUD 1945 sebagai konstitusi
tertulis merupakan dokumen formal yang berisikan nilai-nilai sebagai berikut :
a. Hasil perjuangan politik bangsa
di waktu yang lampau;
b. Tingkat-tingkat tertinggi
perkembangan ketatanegaraan bangsa;
c.
Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun
yang akan datang;
d. Suatu keinginan dimana
perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Bangsa-bangsa lain, walau juga
memiliki dasar negara, tidak merumuskan secara eksplisit. Misalnya, dalam
konstitusi Amerika Serikat,tidak ada satu kata pun yang berbunyi liberalisme
atau kapitalisme. Namun dalam kenyataan praktik kenegaraan, bangsa Amerika
menjalankan liberalisme sebagai ideologi (dasar negaranya).
3. Unsur-Unsur Konstitusi
3.1 Pernyataan tentang gagasan-gagasan politik, moral dan
keagamaan
Pernyataan
tentang gagasan-gagasan politik, moral dan keagamaan adalah yang menjiwai
kontitusi dan biasanya dimuat dalam bagian awal atau pembukaan konstitusi. Pada
umumnya, pembukaan konstitusi akan memuat pernyataan.
3.2 Ketentuan tentang stuktur organisasi Negara
Sesuai dengan fungsinya, sebagai
pembatas kekuasaan penguasa, konstitusi memuat ketentuan-ketentuan tentang
pebagian kekuasan negara baik antara badan legislatif, eksekutif, dan
judikatif, maupun dengan badan-badan negara lainnya. Dengan demikian, dalam
konstitusi,akan tergambar struktur organisasi negara.
3.3 Ketentuan tentang perlindungan hak-hak asasi manusia
Konstitusi
umumnya juga memuat ketentuan-ketentuan yang menjamin dan melindungi hak-hak
asasi manusia warga negara yang bersangkutan. Adakalanya ketentuan tentang
jaminan dan perlindungan hak asasi itu dimuat dalam naskah tersendiri di luar
konstitusi.
3.4 Ketentuan tentang prosedur mengubah undang-undang dasar
Di
dalam konstitusi, lazimnya ditentukan pula syarat maupun prosedur mengubah
konstitusi yang bersangkutan. Ketentuan semacam ini penting untuk menjaga agar
konstitusi tetap dapat menyesuaikan perkembangan zaman.
3.5
Larangan menambah sifat tertentu dari
undang-undang dasar
Beberapa
konstitusi juga memuat larangan mengubah bagian tertentu dari konstitusi yang
bersangkutan. Hal ini biasanya terjadi jika para penyusun konstitusi ingin
menghindari terulang kembalinya hal-hal yang baru saja diatasi, seperti
munculnya diktator atau kembalinya suatu monarki.
4. Konstitusi dan Pembagian Kekuasaan.
Secara umum terdapat dua macam konstitusi
yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tak tertulis. Dalam hal yang kedua
ini, hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau
undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan,
pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta
perlindungan hak azasi manusia.
Negara yang dikategorikan sebagai negara
yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di
kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan
semua hak azasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di
berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua
seperti Magna Charta yang berasal
dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan mengenai
kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat
kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris
masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Pada hampir semua konstitusi tertulis
diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan jenis-jenis kekuasaan, dan
kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu dibentuklah lembaga-lembaga negara.
Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu ditentukan terlebih dahulu, baru
kemudian dibentuk lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
jenis kekuasaan tertentu itu.
4.1 Jenis-Jenis Kekuasaan Menurut Para ahli :
4.1.1 Jenis-Jenis Kekuasaan Menurut Montesquieu :
Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya
mengenai jenis tugas atau kewenangan itu, salah satu yang paling
terkemuka adalah pandangan Montesquieu
bahwa kekuasaan negara itu terbagi dalam tiga jenis kekuasaan yang harus
dipisahkan secara ketat, diantaranya adalah :
a. Kekuasaan membuat peraturan perundangan
(legislatif);
b. Kekuasaan melaksanakan peraturan
perundangan (eksekutif);
c. Kekuasaan kehakiman (judikatif).
4.1.2 Jenis-Jenis Kekuasaan Menurut Van Vollenhoven:
Pandangan lain mengenai jenis kekuasaan
yang perlu dibagi atau dipisahkan di dalam konstitusi dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam buku karangannya Staatsrecht
over Zee. Ia membagi kekuasaan menjadi empat macam, diantaranya adalah :
a. Pemerintahan (Bestuur);
b. Perundang-Undangan;
c. Kepolisian ;
d. Pengadilan.
Van Vollenhoven
kemungkinan menilai kekuasaan eksekutif itu terlalu luas dan karenanya perlu
dipecah menjadi dua jenis kekuasaan lagi yaitu kekuasaan pemerintahan dan
kekuasaan kepolisian. Menurutnya kepolisian memegang jenis kekuasaan untuk
mengawasi hal berlakunya hukum dan kalau perlu memaksa untuk melaksanakan
hukum.
4.1.1 Jenis-Jenis Kekuasaan Menurut Wirjono Prodjodikoro :
Wirjono
Prodjodikoro dalam
bukunya Azas-azas Hukum Tata Negara di
Indonesia mendukung gagasan Van
Vollenhoven ini, bahkan ia mengusulkan untuk menambah dua lagi jenis
kekuasaan negara yaitu kekuasaan Kejaksaan dan Kekuasaan untuk memeriksa
keuangan negara untuk menjadi jenis kekuasaan ke-lima dan ke-enam.
Berdasarkan teori hukum ketatanegaraan
yang dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa jenis kekuasaan negara yang
diatur dalam suatu konstitusi itu umumnya terbagi atas enam dan masing-masing
kekuasaan itu diurus oleh suatu badan atau lemabaga tersendiri, diantaranya
adalah :
a.
Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif);
b.
Kekuasaan
melaksanakan undang-undang (eksekutif);
c.
Kekuasaan
kehakiman (judikatif);
d.
Kekuasaan
kepolisian;
e.
Kekuasaan
kejaksaan;
f.
Kekuasaan
memeriksa keuangan negara.
5. Perkembangan Konstitusi di Indonesia
5. Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Konstitusi
yang memuat seperangkat ketentuan atau aturan dasar suatu negara tersebut
mempunyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara.Mengapa? Sebab, konstitusi menjadi pegangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan negara harus didasarkan pada konstitusi dan
tidak bertentangan dengan konstitusi negara itu. Dengan adanya pembatasan kekuasaan yang diatur dalam
konstitusi, maka pemerintah tidak boleh menggunakan kekuasaannya secara
sewenang-wenang. Sebagai aturan dasar dalam negara, maka Undang - Undang Dasar mempunyai
kedudukan tertinggi dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Artinya semua jenis peraturan perundang-undangan di
Indonesia kedudukannyadi bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yakni
UUD 1945.
Peraturan
perundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga
sekarang (tahun 2008), di negara
Indonesia pernah menggunakan tiga macam UUD yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS
1949, dan UUD Sementara 1950. Dilihat
dari periodisasi berlakunya ketiga UUD
tersebut, dapat diuraikan menjadi lima periode yaitu:
a)
18
Agustus 1945 – 27 Desember 1949 berlaku UUD 1945,
b)
27
Desember 1949 – 17 Agustus 1950 berlaku Konstitusi RIS 1949,
c)
17
Agustus 1950 – 5 Juli 1959 berlaku UUD Sementara 1950,
d) 5 Juli 1959 – 19 Oktober
1999 berlaku kembali UUD 1945
e)
19
Oktober 1999 – sekarang berlaku UUD 1945 (hasil perubahan).
a.
Konstitusi
adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas- tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok
cara kerja badan-badan tersebut (E.C.S.Wade dan
G.Philips, 1970).
b.
Konstitusi
adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara, berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk dan mengatur atau
memerintah dalam
pemerintahan suatu negara (K.C.Wheare,
1975).
c. Konstitusi adalah
sekumpulan asas-asas yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak
dari yang diperintah, dan hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (C.F. Strong, 1960
1. UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 – 27
Desember 1949
Pada
saat Proklamasi kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945, negara Republik Indonesia belum memiliki konstitusi atau UUD. Namun sehari kemudian,
tepatnya tanggal 18 Agustus 1945,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang pertama yang
salah satu keputusannya adalah
mengesahkan UUD yang kemudian disebut
UUD 1945. Mengapa UUD 1945 tidak ditetapkan oleh MPR sebagaimana diatur dalam
pasal 3 UUD 1945? Sebab, pada saat itu MPR belum terbentuk. Naskah UUD yang
disahkan oleh PPKI tersebut disertai
penjelasannya dimuat dalam Berita Republik Indonesia No. 7 tahun II
1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh,
dan Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang terbagi
menjadi 37 pasal, serta 4 pasal Aturan
Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Bagaimana
sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 saat itu? Ada beberapa hal yang perlu
kalian ketahui, antara lain tentang bentuk negara, kedaulatan, dan system pemerintahan. Mengenai bentuk negara diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “negara Indonesia adalah negara
kesatuan yang berbentuk republik”. Urutan periode pelaksanaan UUD di Indonesia kesatuan,
maka di negara Republik Indonesia hanya ada
satu kekuasaan pemerintahan negara, yakni di tangan pemerintah pusat. Di
sini tidak ada pemerintah negara bagian
sebagaimana yang berlaku di negara yang berbentuk negara serikat
(federasi). Sebagai negara yang berbentuk
republik, maka kepala negara dijabat oleh Presiden. Presiden diangkat
melalui suatu pemilihan, bukan berdasar keturunan. Mengenai kedaulatan diatur
dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusywaratan Rakyat”.
Atas
dasar itu, maka kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sebagai
lembaga tertinggi negara. Kedudukan lembaga-lembaga tinggi Negara yang lain
berada di bawah MPR. Mengenai sistem pemerintahan negara diatur dalam Pasal 4
ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tesebut menunjukkan bahwa system pemerintahan menganut sistem presidensial.
Dalam system ini, Presiden selain
sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai
pelaksana tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perlu
kalian ketahui, lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD
1945 (sebelum amandemen) adalah :
a.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
b.
Presiden
c.
Dewan Pertimbanagan Agung (DPA)
d.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
e.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f.
Mahkamah Agung (MA)
2. Periode Berlakunya Konstitusi RIS 1949
Perjalanan
negara baru Republik Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia. Belanda berusaha
memecah-belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negaranegara ”boneka” seperti Negara Sumatera Timur,
Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan,
dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia. Bahkan, Belanda
kemudian melakukan agresi atau
pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer
I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948.
Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik Indonesia, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan
menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda)
tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari
RepubIik Indonesia, BFO (Bijeenkomst
voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara boneka yang dibentuk
Belanda), dan Belanda serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia. KMB tersebut
menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu:
1.
Didirikannya Negara Rebublik Indonesia Serikat;
2.
Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; dan
3.
Didirikan uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Perubahan
bentuk negara dari negara kesatuan menjadi
negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD
Republik Indonesia Serikat. Rancangan UUD tersebut dibuat oleh delegasi RI dan
delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar. Setelah kedua belah pihak menyetujui
rancangan tersebut, maka mulai 27
Desember 1949 diberlakukan suatu UUD
yang diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut
terdiri atas Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan
197 pasal, serta sebuah lampiran. Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam Pasal
1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi
“ Republik Indonesia Serikat yang
merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk
federasi”.
Dengan
berubah menjadi negara serikat
(federasi), maka di dalam RIS terdapat beberapa negara bagian. Masing-masing
memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara
bagian itu adalah : negara Republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa
timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri
sendiri, yaitu : Jawa Tengah, Bangka,
Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan
Tenggara, dan Kalimantan Timur. Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD
1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk
negara bagian Republik Indonesia. Wilayah negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera
dengan ibu kota di Yogyakarta. Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya
Konstitusi RIS adalah sistem parlementer. Hal itu sebagaimana diatur dalam
pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa
”Presiden tidak dapat diganggu-gugat”.
Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab,
Presiden adalah kepala negara, tetapi
bukan kepala pemerintahan.
Kalau
demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung jawab atas tugas pemerintahan? Pada Pasal 118 ayat (2)
ditegaskan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah
baik bersama-sama untuk seluruhnya
maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Dengan demikian,
yang melaksanakan dan mempertanggungjawabkan
tugas-tugas pemerintahan adalah menterimenteri. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan
dijabat oleh Perdana Menteri. Lalu,
kepada siapakah pemerintah bertanggung jawab? Dalam sistem pemerintahan
parlementer, pemerintah bertanggung
jawab kepada parlemen (DPR). Perlu diketahui bahwa lembaga-lembaga Negara menurut Konstitusi RIS adalah :
a.
Presiden
b.
Menteri-Menteri
c.
Senat
d.
Dewan Perwakilan Rakyat
e.
Mahkamah Agung
f.
Dewan Pengawas Keuangan
3. Periode Berlakunya UUDS 1950
Pada
awal Mei 1950 terjadi penggabungan negaranegara bagian dalam negara RIS,
sehingga hanya tinggal tiga negara
bagian yaitu negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera
Timur. Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan antara RIS yang
mewakili Negara Indonesia Timur dan
Negara Sumatera Timur dengan Republik Indonesia
untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah negara
serikat menjadi negara kesatuan diperlukan suatu UUD Negara kesatuan. UUD tersebut akan diperoleh dengan
cara memasukan isi UUD 1945 ditambah
bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS. Pada tanggal 15 Agustus 1950
ditetapkanlah Undang-Undang Federal No.7 tahun 1950 tentang Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak
tanggal 17 Agustus 1950.
Dengan
demikian, sejak tanggal tersebut
Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950, dan terbentuklah kembali Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 terdiri atas
Mukadimah dan Batang Tubuh, yang meliputi 6 bab dan 146 pasal. Mengenai dianutnya bentuk negara
kesatuan dinyatakan dalam Pasal 1 ayat
(1) UUDS 1950 yang berbunyi “Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Sistem pemerintahan yang dianut pada masa berlakunya UUDS 1950 adalah sistem
pemerintahan parlementer. Dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 ditegaskan bahwa ”Presiden dan Wakil
Presiden tidak dapat diganggu-gugat”.
Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa ”Menteri-menteri
bertanggung jawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah, baik
bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini
berarti yang bertanggung jawab atas
seluruh kebijaksanaan pemerintahan
adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR. Perlu kalian
keahui bahwa lembaga-lembaga Negara
menurut UUDS 1950 adalah :
a) Presiden dan
Wakil Presiden
b)
Menteri-Menteri
c) Dewan
Perwakilan Rakyat
d) Mahkamah
Agung
e) Dewan
Pengawas Keuangan
Sesuai
dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak
dalam rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa ”Konstituante (Lembaga Pembuat
UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekaslekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang
akan menggantikan UUDS ini”. Anggota
Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal
10 November 1956 di Bandung. Sekalipun konstituante telah bekerja kurang
lebih selama dua setengah tahun, namun
lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya
pertentangan pendapat di antara
partai-partai politik di badan konstituante
dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan. Pada pada tanggal 22
April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk
kembali ke UUD 1945.
Pada
dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para
anggota Konstituante tetapi dengan pandangan
yang berbeda-beda. Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan
suara. Sekalipun sudah diadakan tiga
kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang
hadir. Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara,
pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden
Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah:
1. Menetapkan
pembubaran Konsituante
2. Menetapkan
berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3. Pembentukan
MPRS dan DPAS Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945
berlaku kembali sebagai landasan
konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia.
4. UUD 1945 Periode 5 Juli 1959 – 19
Oktober 1999
Praktik
penyelenggaraan negara pada masa berlakunya
UUD 1945 sejak 5 Juli 1959- 19 Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran
bahkan terjadinya beberapa penyimpangan.
Oleh karena itu, pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat dipilah
menjadi dua periode yaitu periode Orde
Lama (1959-1966), dan periode Orde Baru (1966-1999). Pada masa pemerintahan
Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintahan
sering terjadi penyimpangan yang
dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pelaksanaan
UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini
terjadi karena penyelenggaraan
pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang Presiden dan lemahnya
kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden.
Selain
itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan
sehingga situasi politik, keamanan, dan
kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah
munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa
dan negara. Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir. Soekarno selaku Presiden
RI memberikan perintah kepada Letjen
Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi
terjaminnya keamanan, ketertiban, dan ketenangan serta kestabilan jalannya
pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru. Semboyan
Orde Baru pada masa itu adalah
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apakah
tekad tersebut menjadi suatu kenyataan? Ternyata tidak. Dilihat dari prinsip demokrasi,
prinsip negara hukum, dan keadilan sosial ternyata masih terdapat banyak hal
yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat
dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya
kontrol DPR terhadap kebijakan-kebijakan
Presiden/pemerintah. Selain itu,
kelemahan tersebut terletak pada UUD
1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel), sehingga
memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah atau
menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintahan Orde Baru bertekad untuk mempertahankan
dan tidak merubah UUD 1945.
5. UUD 1945 Periode 19 Oktober 1999 –
Sekarang
Seiring
dengan tuntutan reformasi dan setelah
lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa
Orde Baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Sampai saat ini, UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu
pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Penyebutan UUD setelah perubahan menjadi lebih lengkap, yaitu : Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui empat tahap perubahan
tersebut, UUD 1945 telah mengalami
perubahan yang cukup mendasar. Perubahan
itu menyangkut kelembagaan negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil
Presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintahan daerah, dan ketentuan yang
terinci tentang hak-hak asasi manusia. Pertanyaan kita sekarang, apakah UUD
1945 yang telah diubah tersebut telah
dijalankan sebagaimana mestinya? Tentu
saja masih harus ditunggu perkembangannya,
karena masa berlakunya belum lama dan masih masa transisi. Setidaknya, setelah perubahan UUD 1945,
ada beberapa praktik ketatanegaraan yang
melibatkan rakyat secara langsung. Misalnya dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan Kepala
Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota).
Hal-hal
tersebut tentu lebih mempertegas prinsip
kedaulatan rakyat yang dianut negara kita. Perlu kalian ketahui bahwa setelah
melalui serangkaian perubahan (amandemen), terdapat lembaga-lembaga negara baru
yang dibentuk. Sebaliknya terdapat lembaga
negara yang dihapus, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 sesudah
amandemen adalah: UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sumber: Setjen MPR
a) Presiden
b) Majelis Permusyawaratan Rakyat
c) Dewan Perwakilan Rakyat
d) Dewan Perwakilan Daerah
e) Badan Pemeriksa Keuangan
f) Mahkamah Agung
g) Mahkamah Konstitusi
h) Komisi Yudisial
6. Hasil-Hasil Perubahan UUD 1945
Perubahan
Undang-Undang Dasar atau sering pula digunakan istilah amandemen Undang-Undang
Dasar merupakan salah satu agenda reformasi. Perubahan itu dapat berupa
pencabutan, penambahan, dan perbaikan. Sebelum menguraikan hasil-hasil
perubahan UUD 1945, kalian akan diajak untuk memahami dasar pemikiran
perubahan, tujuan perubahan, dasar yuridis perubahan, dan beberapa kesepakatan
dasar dalam perubahan UUD 1945. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi
dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain :
a.
UUD
1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar pada Presiden yang meliputi
kekuasaan eksekutif dan legislatif, khususnya dalam membentuk
undangundang.
b.
UUD
1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes (fleksibel) sehingga
dapat menimbulkan lebih dari satu tafsir (multitafsir).
c.
Kedudukan
penjelasan UUD 1945 sering kali diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum
seperti pasal-pasal (batang tubuh) UUD
1945.
Perubahan UUD
1945 memiliki beberapa tujuan,antara lain :
a.
Menyempurnakan
aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional
dan memperkukuh Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Menyempurnakan aturan
dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan
perkembangan paham demokrasi.
c. Menyempurnakan aturan
dasar mengenai jaminan dan perlindungan
HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia
yang merupakan syarat bagi suatu
negara hukum yang tercantum dalam UUD 1945.
d.
Menyempurnakan
aturan dasar penyelenggaraan Negara secara demokratis dan modern.
e. Melengkapi aturan dasar
yang sangat penting dalam penyelenggaraan
ne-gara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan
demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
f.
Menyempurnakan
aturan dasar mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan
perkembangan jaman dan kebutuhan
bangsa dan negara. Dalam
melakukan perubahan terhadap UUD 1945, terdapat beberapa kesepakatan dasar yang
penting kalian pahami. Kesepakatan tersebut adalah :
Ø Tidak mengubah Pembukaan
UUD 1945
Ø Tetap mempertahankan NKRI
Ø Mempertegas sistem
pemerintahan presidensial
Ø Penjelasan UUD 1945 yang
memuat hal-hal normatif akan dimasukkan
ke dalam pasal-pasal (batang tubuh)
Perubahan
terhadap UUD 1945 dilakukan secara bertahap karenamendahulukan pasal-pasal yang
disepakati oleh semua fraksi di MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan
terhadap pasal-pasal yang lebih sulit memperoleh kesepakatan. Perubahan
terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali melalui mekanisme siding MPR
yaitu:
a.
Sidang
Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999
b.
Sidang
Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000
c.
Sidang
Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001
d.
Sidang
Tahunan MPR 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002.
Perubahan UUD Negara RI 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD itu
sendiri bukan untuk mengganti. Secara umum hasil perubahan yang dilakukan
secara bertahap MPR adalah sebagai berikut:
Perubahan
Pertama. Perubahan pertama
terhadap UUD 1945 ditetapkan pada tgl. 19 Oktober 1999 dapat dikatakan sebagai
tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat yang cenderung mensakralkan
atau menjadikan UUD 1945 sebagai sesuatu yang suci yang tidak boleh disentuh
oleh ide perubahan. Perubahan Pertama terhadap UUD 1945 meliputi 9 pasal, 16
ayat, yaitu :
Pasal
yang Diubah Isi Perubahan
·
5
ayat 1
·
Pasal
7
·
Pasal
9 ayat 1 dan 2
·
Pasal
13 ayat 2 dan 3
·
Pasal
14 ayat 1
·
Pasal
14 ayat 2
·
Pasal
15
·
Pasal
17 ayat 2 dan 3
·
Pasal
20 ayat 1 – 4
·
Pasal
21
·
Hak
Presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR
·
Pembatasan
masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
·
Sumpah
Presiden dan Wakil Presiden“
·
Pengangkatan
dan Penempatan Duta
·
Pemberian
Grasi dan Rehabilitasi
·
Pemberian
amnesty dan abolisi
·
Pemberian
gelar, tanda jasa dan kehormatan lain
·
Pengangkatan
Menteri
·
DPR
·
Hak
DPR untuk mengajukan RUU
Perubahan
Kedua. Perubahan kedua ditetapkan pada tgl. 18 Agustus 2000, meliputi
27 pasal yang tersebar dalam 7 Bab, yaitu:
Bab
yang Diubah Isi Perubahan
·
Bab
VI
·
Bab
VII
·
Bab
IXA
·
Bab
X
·
Bab
XA
·
Bab
XII
·
Bab
XV
·
Pemerintahan
Daerah
·
Dewan
Perwakilan Daerah
·
Wilayah
Negara
·
Warga
Negara dan Penduduk
·
Hak
Asasi Manusia
·
Pertahanan
dan Keamanan
·
Bendera,
Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
Perubahan
Ketiga. Perubahan ketiga ditetapkan pada tgl. 9 November
2001, meliputi
23 pasal yang tersebar 7 Bab, yaitu:
Bab
yang Diubah Isi Perubahan
• Bab I
• Bab II
• Bab III
• Bab V
• Bab VIIA
• Bab VIIB
• Bab VIII
• Bentuk dan
Kedaulatan
• MPR
• Kekuasaan
Pemerintahan Negara
• Kementerian
Negara
• DPR
• Pemilihan Umum
• BPK
Perubahan
Keempat. Ditetapkan 10 Agustus 2002, meliputi 19 pasal yang terdiri
atas 31 butir ketentuan serta
1.
Butir
yang dihapuskan. Dalam naskah perubahan keempat ini ditetapkan bahwa:
·
UUD
1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga,
dan keempat adalah UUD 1945 yang ditetapkan
pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
·
Perubahan
tersebut diputuskan dalam rapat Paripurna
MPR RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan.
·
Bab
IV tentang “Dewan Pertimbangan Agung” dihapuskan dan pengubahan substansi
pasal 16 serta penempatannya kedalam
Bab III tentang “Kekuasaan PemerintahanNegara”.
6. Penyimpangan-Penyimpangan Terhadap
Konstitusi
Dalam
praktik ketatanegaraan kita sejak 1945 tidak jarang terjadi penyimpangan
terhadap konstitusi (UUD).
1. Penyimpangan terhadap UUD 1945 masa awal
kemerdekaan, antara lain:
a.
Keluarnya Maklumat
Wakil Presiden Nomor X (baca: eks)
tanggal
16 Oktober 1945 yang mengubah fungsi KNIP dari pembantu menjadi badan
yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN sebelum
terbentuknya MPR, DPR, dan
DPA. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 aturan peralihan yang berbunyi
”Sebelum MPR, DPR, dan DPA
terbentuk,
segala kekuasaan dilaksanakan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite
nasional”.
b.
Keluarnya Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945
yang
merubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan
parlementer. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17
UUD 1945.
2.
Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Lama, antara lain:
a. Presiden
telah mengeluarkan produk peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden,
yang hal itu tidak dikenal dalam UUD 1945.
b.
MPRS, dengan Ketetapan
No. I/MPRS/1960 telah menetapkan
Pidato
Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali
Revolusi Kita (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN yang bersifat
tetap.
c. Pimpinan
lembaga-lembaga negara diberi kedudukan sebagai menteri-menteri negara,
yang berarti menempatkannya sejajar
dengan
pembantu Presiden.
d. Hak
budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengajukan RUU
APBN untuk mendapat persetujuan DPR
sebelum
berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan;
e. Pada
tanggal 5 Maret
1960,
melalui Penetapan Presiden No.3
tahun
1960, Presiden membubarkan anggota DPR hasil pemilihan umum 1955.
Kemudian melalui Penetapan Presiden
No.4
tahun 1960 tanggal 24 Juni 1960 dibentuklah DPR Gotong Royong (DPR-GR).
f. MPRS
mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan Nomor
III/MPRS/1963.
3. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa
Orde Baru:
a. MPR
berketetapan tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahanterhadap UUD
1945 serta akan melaksanakannya
secara
murni dan konsekuen (Pasal 104 Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 tentang Tata
Tertib MPR). Hal ini bertentangan
dengan
Pasal 3 UUD 1945 yang memberikankewenangan kepada MPR untuk menetapkan
UUD dan GBHN, serta Pasal 37 yang
memberikan
kewenangan kepada MPR untuk mengubah UUD 1945.
b.
MPR mengeluarkan
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang mengatur tata cara
perubahan UUD yang tidak
sesuai
dengan pasal 37 UUD 1945
Setelah
perubahan UUD 1945 yang keempat (terakhir) berjalan kurang lebih 6 tahun,
pelaksanaan UUD 1945 belum banyak
dipersoalkan.
Lebih-lebih mengingat agenda reformasi itu sendiri antara lain adalah
perubahan (amandemen) UUD 1945. Namun demikian, terdapat ketentuan UUD 1945
hasil perubahan (amandemen)
yang
belum dapat dipenuhi oleh pemerintah, yaitu anggaran pendidikan dalam APBN
yang belum mencapai 20%. Hal itu ada yang menganggap bertentangan dengan Pasal
31ayat (4) UUD 1945 yang
menyatakan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN). Penyimpangan-penyimpangan
terhadap UUD Tahun1945 dapat
disederhanakan
dalam bagan di bawah ini.
Penyimpangan terhadap UUD Tahun 1945Masa Setelah Perubahan Masa Orde
Baru:
(1). Masa Orde Lama Masa awal Kemerdekaan dalam
bentuk Penetapan Presiden
(2).
Pidato Presiden sebagai GBHN
(3). Pimpinan lembaga Negara sebagai menteri
(4).
Hak budget tidak berjalan
(5).
Pembubaran DPR oleh Presiden
(6).
Pengangkatan Presiden Seumur Hidup
a) MPR tidak berkehendak merubah UUD 1945
b) Mengeluarkan
Tap MPR tentang referendum Anggaran pendidikan dalam APBN belum sesuai dengan
Pasal 31 UUD 1945
Ø KNIP
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN
Ø Menerapkan
sistem parlementer
berdasarkan fakta yang kita sering jumpai pada media. yang berkaitan khususnya mengenai hukum pada bangsa ini sangatlah lemah. nah kalau dikembalikan lagi kepada kontitusi sebagai landasan hukum negara itu bagaimana ? dimana letak kesalahanya ?
BalasHapus