makalah matkul pengantar ilmu politik



              

MAKALAH
KONSTITUSI SEBAGAI HUKUM DASAR INDONESIA
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pengantar ilmu politik



Disusun oleh :
1.      Dini Rusdiani
2.      Kensiwi Naraswati
3.      Riska Agustiani
4.      Sea Agustin
5.      Laila Yuniawati
6.      Maryam Ramadanti
7.      Rita Purwanti
8.      Hilman Bahreshi
9.      Annisa Nururrohmah


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
                FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU  POLITIK
UNIVESITAS GALUH CIAMIS
2011/2012





KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puja dan puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan ridhoNya  penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.  makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar  ilmu politik dengan judul “konstitusi sebagai hukum dasar negara indonesia” Selain itu, makalah ini juga dijadikan sebagai pencerahan mengenai sejarah, pelaksanaan,pergantian dalam konstitusi yang berlaku pada suatu negara seperti indonesia contohnya.
Makalah ini dibuat sebagai upaya untuk mendeskripsikan seperti apa pentingnya sebuah konstitusi dalam suatu negara.
Penyusun berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun khususnya dan secara umum bagi para pembaca sebagaimana pada fungsinya makalah ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan konstitusi di indonesia.

                                                                        Ciamis, 5 desember 2011
           
                                                                                                penyusun
 



BAB  1
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Pada dasarnya konstitusi merupakan dasar sebuah negara itu berdiri. maka dari itu, konstitusi berperan penting dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut mendorong keingintahuan kami sebagai mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik untuk mempelajari mengenai arti dan penerapan konstitusi itu sendiri khususnya  di Indonesia.
1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut, maka kami merumuskan maasalah sebagai berikut :
1.      Apa penertian dari konstitusi?
2.      Apa tujuan dan nilai konstitusi?
3.      Apa saja unsur-unsur konstitusi?
4.      Bagaimana konstitusi dan pembagian kekuasaan di Indonesia?
5.      Bagaimana perkembangan konstitusi di Indonesia?
6.      Apa saja penyimpangan-penyimpangan konstitusi di Indonesia?
1.3  METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi, atau cara serupa yaitu melalui pendekatan prosesual untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan konstitusi. Teknik pengumpulan data yaitu melalui pencarian dari berbagai sumber yang tersedia di media cetak seperti buku dan media elektronik. 
1.4  TUJUAN
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pengantar ilmu politik dan sekaligus menambah wawasan kami khususnya mengenai konstitusi dan penerapannya di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Konstitusi
          1.1 Pengertian Umum :
Dalam arti sempit, konstitusi adalah Undang-Undang Dasar, yaitu satu atau beberapa dokumen yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok atau dasar dari ketatanegaraan suatu Negara. Contohnya adalah, The Constitution of The United States of America yang berarti Undang-Undang Dasar Amerika Serikat.
Dalam arti menengah, konstitusi adalah hukum dasar, yaitu keseluruhan aturan dasar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur bagaimana suatu pemerintahan diselenggerakan dalam suatu Negara. Contohnya adalah, dalam Belanda kata constitutie berarti hukum dasar yang terdiri atas grondwet (grond berarti dasar, dan wet berarti undang-undang) atau Undang Undang Dasar dan Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan.
Dalan arti luas, konstitusi adalah hukum tatanegara, yaitu keseluruhan aturan dan ketentuan (hukum) yang menggambarkan sistem  ketatanegaraan suatu Negara. Contohnya adalah, istilah Constitutional Law dalam bahasa Inggris yang berarti Hukum Tatanegara.

1.2 Pengertian Konstitusi Secara Etimologis :
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis yaitu Constituer yang artinya membentuk. Dalam kaitan ini, konstitusi diartikan sebagai pembentuk Negara.
Dalam bahasa Belanda konstitusi disamakan dengan istilah Grundwet (Grund = Dasar, Wet = Undang-undang)
Dalam bahasa Latin konstitusi berasal dari gabungan dua kata yaitu Cume yang berarti bersama dengan dan Statuere yang berarti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan, menetapkan sesuatu, sehingga menjadi Constitution.
Dalam istilah bahasa Inggris Constution atau konstitusi memiliki makna yang lebih luas dari undang-undang dasar. Yakni konstitusi adalah keseluruhan dari peraturn-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Dalam terminilogi hukum Islam Fiqh Siyasah konstitusi dikenal dengan sebutan DUSTUS yang berati kumpulan faedah yang mengatur dasar dan kerja sama antar sesama anggota masyarakat dalam sebuah Negara.

1.3 Pengertian Konstitusi Menurut Para Ahli :
Menurut pendapat James Bryce, konstitusi adalah suatu kerangka masyarakat politik (Negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. Dengan kata lain konstitusi dikatakan sebagai kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak rakyat dan hubungan diantara keduanya.
Menurut K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu Negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
Menurut Herman Heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan politis.
Menurut Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata di dalam masyarakat misalnya kepala negara angkatan perang, partai politik dsb.
Menurut L.j Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan tak tertulis.
Menurut Koernimanto Soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa Latin Cisme yang berarati bewrsama dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan secara bersama.
Menurut Oliver Cromwell Undang-Undang Dasar itu merupakan “Instrumen of Govermen”, yaitu bahwa Undang-Undang dibuat sebagai pegangan untuk memerintah. Dalam arti ini, Konstitusi identik dengan Undang-undang dasar.
Menurut F. Lassalle, konstitusi sesungguhnya menggambarkan hubungan antara kaekuasaan yang terdapat didalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata didalam masyarakat, misalnya kepala Negara, angkatan perang, partai politik, buruh tani, pegawai, dan sebagainya.
Menurut Prayudi Atmosudirdjo, konstitusi adalah hasil atau produk sejarah dan proses perjuangan bangsa yang bersangkutan, Konstitusi merupakan rumusan dari filsafat, cita-cita, kehendak dan perjuangan suatu bangsa. Konstitusi adalah cermin dari jiwa, jalan pikiran, mentalitas dan kebudayaan suatu bangsa.
Menurut Carl Schmitt, konstitusi dibagi dalam 4 pengertian yaitu :
a) Konstitusi dalam arti Absolut mempunyai 4 sub pengertian. Diantaranya adalah Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang mencakup hukum dan semua organisasi yang ada di dalam Negara. Konstitusi sebagai bentuk Negara. Konstitusi sebagai faktor integrasi. Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum yang tertinggi di dalam Negara.
b) Konstitusi dalam Artoi Relatif dibagi menjadi 2 pengertian, yaitu Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis agar haknya dapat dijamin oleh penguasa dan konstitusi sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil (konstitrusi dapat berupa terttulis) dan konstitusi dalam arti materil (konstitusi yang dilihat dari segi isinya).
c) Konstitusi dalam arti Positif adalah sebagai sebuah keputusan politik yang tertinggi sehingga mampu mengubah tatanan kehidupan kenegaraan.
d) konstitusi dalam arti Ideal yaitu konstitusi yang memuat adanya jaminan atas hak asasi serta perlindungannya.


2. Tujuan dan Nilai Konstitusi
2.1 Tujuan Konstitusi
          Tujuan adanya konstitusi secara ringkas dapat diklasifikasikan menjadi tiga tujuan, yaitu sebagai berikut :
a. Bertujuan untuk memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik;
            b. Bertujuan untuk melepaskan kontrol kekuasaan dari penguasaan sendiri;
c. Bertujuan untuk memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.

2.2 Nilai Konstitusi
          Menurut Struyken, UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisikan nilai-nilai sebagai berikut :
            a. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
            b. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
c. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun yang akan datang;
            d. Suatu keinginan dimana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

            Bangsa-bangsa lain, walau juga memiliki dasar negara, tidak merumuskan secara eksplisit. Misalnya, dalam konstitusi Amerika Serikat,tidak ada satu kata pun yang berbunyi liberalisme atau kapitalisme. Namun dalam kenyataan praktik kenegaraan, bangsa Amerika menjalankan liberalisme sebagai ideologi (dasar negaranya).



3. Unsur-Unsur Konstitusi

3.1 Pernyataan tentang gagasan-gagasan politik, moral dan keagamaan
Pernyataan tentang gagasan-gagasan politik, moral dan keagamaan adalah yang menjiwai kontitusi dan biasanya dimuat dalam bagian awal atau pembukaan konstitusi. Pada umumnya, pembukaan konstitusi akan memuat pernyataan.

3.2 Ketentuan tentang stuktur organisasi Negara
            Sesuai dengan fungsinya, sebagai pembatas kekuasaan penguasa, konstitusi memuat ketentuan-ketentuan tentang pebagian kekuasan negara baik antara badan legislatif, eksekutif, dan judikatif, maupun dengan badan-badan negara lainnya. Dengan demikian, dalam konstitusi,akan tergambar struktur organisasi negara.

3.3 Ketentuan tentang perlindungan hak-hak asasi manusia
          Konstitusi umumnya juga memuat ketentuan-ketentuan yang menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia warga negara yang bersangkutan. Adakalanya ketentuan tentang jaminan dan perlindungan hak asasi itu dimuat dalam naskah tersendiri di luar konstitusi.

3.4 Ketentuan tentang prosedur mengubah undang-undang dasar
Di dalam konstitusi, lazimnya ditentukan pula syarat maupun prosedur mengubah konstitusi yang bersangkutan. Ketentuan semacam ini penting untuk menjaga agar konstitusi tetap dapat menyesuaikan perkembangan zaman.

3.5             Larangan menambah sifat tertentu dari undang-undang dasar
Beberapa konstitusi juga memuat larangan mengubah bagian tertentu dari konstitusi yang bersangkutan. Hal ini biasanya terjadi jika para penyusun konstitusi ingin menghindari terulang kembalinya hal-hal yang baru saja diatasi, seperti munculnya diktator atau kembalinya suatu monarki.


4. Konstitusi dan Pembagian Kekuasaan.
Secara umum terdapat dua macam konstitusi yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tak tertulis. Dalam hal yang kedua ini, hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.
Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Pada hampir semua konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan jenis-jenis kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu dibentuklah lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan jenis kekuasaan tertentu itu.

4.1 Jenis-Jenis Kekuasaan Menurut Para ahli :
4.1.1 Jenis-Jenis Kekuasaan Menurut Montesquieu :
Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya mengenai jenis tugas atau kewenangan itu, salah satu yang paling  terkemuka adalah pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan negara itu terbagi dalam tiga jenis kekuasaan yang harus dipisahkan secara ketat, diantaranya adalah :
a.       Kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif);
b.      Kekuasaan melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif);
c.       Kekuasaan kehakiman (judikatif).

4.1.2 Jenis-Jenis Kekuasaan Menurut Van Vollenhoven:
Pandangan lain mengenai jenis kekuasaan yang perlu dibagi atau dipisahkan di dalam konstitusi dikemukakan oleh Van Vollenhoven dalam buku karangannya Staatsrecht over Zee. Ia membagi kekuasaan menjadi empat macam, diantaranya adalah :
a.       Pemerintahan (Bestuur);
b.      Perundang-Undangan;
c.       Kepolisian ;
d.      Pengadilan.
Van Vollenhoven kemungkinan menilai kekuasaan eksekutif itu terlalu luas dan karenanya perlu dipecah menjadi dua jenis kekuasaan lagi yaitu kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan kepolisian. Menurutnya kepolisian memegang jenis kekuasaan untuk mengawasi hal berlakunya hukum dan kalau perlu memaksa untuk melaksanakan hukum.

4.1.1 Jenis-Jenis Kekuasaan Menurut Wirjono Prodjodikoro :
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia mendukung gagasan Van Vollenhoven ini, bahkan ia mengusulkan untuk menambah dua lagi jenis kekuasaan negara yaitu kekuasaan Kejaksaan dan Kekuasaan untuk memeriksa keuangan negara untuk menjadi jenis kekuasaan ke-lima dan ke-enam.
Berdasarkan teori hukum ketatanegaraan yang dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa jenis kekuasaan negara yang diatur dalam suatu konstitusi itu umumnya terbagi atas enam dan masing-masing kekuasaan itu diurus oleh suatu badan atau lemabaga tersendiri, diantaranya adalah :
a.       Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif);
b.      Kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif);
c.       Kekuasaan kehakiman (judikatif);
d.      Kekuasaan kepolisian;
e.       Kekuasaan kejaksaan;
f.       Kekuasaan memeriksa keuangan negara.
5. Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Konstitusi yang memuat seperangkat ketentuan atau aturan dasar suatu negara tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara.Mengapa? Sebab,  konstitusi menjadi pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan  negara harus didasarkan pada konstitusi dan tidak bertentangan dengan konstitusi negara itu. Dengan adanya  pembatasan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi, maka pemerintah tidak boleh menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Sebagai aturan dasar dalam negara, maka Undang - Undang Dasar mempunyai kedudukan tertinggi dalam peraturan  perundang-undangan di Indonesia. Artinya semua  jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia kedudukannyadi bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah  pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang (tahun  2008), di negara Indonesia pernah menggunakan tiga macam UUD yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan  UUD Sementara 1950. Dilihat dari periodisasi berlakunya  ketiga UUD tersebut, dapat diuraikan menjadi lima periode yaitu:
a)      18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 berlaku UUD 1945,
b)      27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 berlaku Konstitusi RIS 1949,
c)      17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 berlaku UUD Sementara 1950,
d)      5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999 berlaku kembali UUD 1945
e)      19 Oktober 1999 – sekarang berlaku UUD 1945 (hasil perubahan).
a.       Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas- tugas pokok dari  badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara  kerja badan-badan tersebut (E.C.S.Wade dan G.Philips, 1970).
b.      Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara, berupa  kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk dan mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara (K.C.Wheare, 1975).
c.       Konstitusi adalah sekumpulan asas-asas yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak dari yang diperintah, dan hubungan antara pemerintah dengan yang  diperintah (C.F. Strong, 1960
1. UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
Pada saat Proklamasi kemerdekaan tanggal 17  Agustus 1945, negara Republik Indonesia belum memiliki  konstitusi atau UUD. Namun sehari kemudian, tepatnya  tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang pertama yang salah  satu keputusannya adalah mengesahkan UUD yang kemudian  disebut UUD 1945. Mengapa UUD 1945 tidak ditetapkan oleh MPR sebagaimana diatur dalam pasal 3 UUD 1945? Sebab, pada saat itu MPR belum terbentuk. Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai  penjelasannya dimuat dalam Berita Republik Indonesia No. 7 tahun II 1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 pasal Aturan  Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 saat itu? Ada beberapa hal yang perlu kalian ketahui, antara lain tentang bentuk negara, kedaulatan, dan system  pemerintahan. Mengenai bentuk negara diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Urutan periode pelaksanaan UUD di Indonesia kesatuan, maka di negara Republik Indonesia hanya ada  satu kekuasaan pemerintahan negara, yakni di tangan pemerintah pusat. Di sini tidak ada pemerintah negara bagian  sebagaimana yang berlaku di negara yang berbentuk negara serikat (federasi). Sebagai negara yang berbentuk  republik, maka kepala negara dijabat oleh Presiden. Presiden diangkat melalui suatu pemilihan, bukan berdasar keturunan. Mengenai kedaulatan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusywaratan  Rakyat”.
Atas dasar itu, maka kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukan lembaga-lembaga tinggi Negara yang lain berada di bawah MPR. Mengenai sistem pemerintahan negara diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal tesebut menunjukkan bahwa system  pemerintahan menganut sistem presidensial. Dalam system  ini, Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang  bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada Dewan  Perwakilan Rakyat (DPR). Perlu kalian ketahui, lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah :
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
b. Presiden
c. Dewan Pertimbanagan Agung (DPA)
d. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f. Mahkamah Agung (MA)

2. Periode Berlakunya Konstitusi RIS 1949
Perjalanan negara baru Republik Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan  menjajah kembali Indonesia. Belanda berusaha memecah-belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negaranegara  ”boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara  Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia. Bahkan, Belanda kemudian melakukan agresi atau  pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948. Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dengan  menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949.  Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RepubIik Indonesia,  BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara boneka yang dibentuk Belanda), dan Belanda serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia. KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu:
1. Didirikannya Negara Rebublik Indonesia Serikat;
2. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; dan
3. Didirikan uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi  negara serikat mengharuskan adanya penggantian  UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Republik Indonesia Serikat. Rancangan UUD tersebut dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar. Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan  tersebut, maka mulai 27 Desember 1949 diberlakukan  suatu UUD yang diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut terdiri atas Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran. Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam Pasal 1  ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi “ Republik Indonesia  Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”.
Dengan berubah  menjadi negara serikat (federasi), maka di dalam RIS terdapat beberapa negara bagian. Masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah : negara Republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat  pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri,  yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945  tetap berlaku tetapi hanya untuk negara bagian Republik Indonesia. Wilayah negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta. Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi RIS adalah sistem parlementer. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa ”Presiden  tidak dapat diganggu-gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat  dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan.  Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi  bukan kepala pemerintahan.
Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung jawab atas tugas  pemerintahan? Pada Pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya  maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertanggungjawabkan  tugas-tugas pemerintahan adalah menterimenteri.  Dalam sistem ini, kepala pemerintahan dijabat  oleh Perdana Menteri. Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung jawab? Dalam sistem pemerintahan parlementer,  pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Perlu diketahui bahwa lembaga-lembaga Negara  menurut Konstitusi RIS adalah :
a. Presiden
b. Menteri-Menteri
c. Senat
d. Dewan Perwakilan Rakyat
e. Mahkamah Agung
f. Dewan Pengawas Keuangan

3. Periode Berlakunya UUDS 1950
Pada awal Mei 1950 terjadi penggabungan negaranegara bagian dalam negara RIS, sehingga hanya tinggal  tiga negara bagian yaitu negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur. Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan antara RIS yang mewakili Negara Indonesia Timur  dan Negara Sumatera Timur dengan Republik Indonesia  untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakatan  tersebut kemudian dituangkan dalam Piagam Persetujuan  tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah negara serikat menjadi negara kesatuan diperlukan suatu UUD Negara  kesatuan. UUD tersebut akan diperoleh dengan cara memasukan  isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS. Pada tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkanlah Undang-Undang Federal No.7 tahun 1950 tentang Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak  tanggal 17 Agustus 1950.
Dengan demikian, sejak tanggal  tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950, dan terbentuklah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 terdiri atas Mukadimah dan Batang Tubuh, yang meliputi 6 bab dan  146 pasal. Mengenai dianutnya bentuk negara kesatuan dinyatakan  dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi “Republik  Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu  negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”. Sistem pemerintahan yang dianut pada masa berlakunya UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Dalam pasal 83 ayat (1) UUDS  1950 ditegaskan bahwa ”Presiden dan Wakil Presiden  tidak dapat diganggu-gugat”. Kemudian pada  ayat (2) disebutkan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung  jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik  bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing  untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung  jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan  adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut bertanggung  jawab kepada parlemen atau DPR. Perlu kalian keahui bahwa lembaga-lembaga Negara  menurut UUDS 1950 adalah :
a) Presiden dan Wakil Presiden
b) Menteri-Menteri
c) Dewan Perwakilan Rakyat
d) Mahkamah Agung
e) Dewan Pengawas Keuangan
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak dalam rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa ”Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekaslekasnya  menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan  menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung. Sekalipun konstituante telah bekerja kurang lebih  selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab  ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan  pendapat di antara partai-partai politik di badan konstituante  dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan. Pada pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali  ke UUD 1945.
Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota  Konstituante tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah diadakan tiga  kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung  anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan  yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir. Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden  Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah:
1. Menetapkan pembubaran Konsituante
2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3. Pembentukan MPRS dan DPAS Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan  konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia.

4. UUD 1945 Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999
Praktik penyelenggaraan negara pada masa berlakunya  UUD 1945 sejak 5 Juli 1959- 19 Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran bahkan terjadinya beberapa  penyimpangan. Oleh karena itu, pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat dipilah menjadi  dua periode yaitu periode Orde Lama (1959-1966), dan periode Orde Baru (1966-1999). Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan  politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang  dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pelaksanaan  UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan  pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang Presiden dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden.
Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik,  keamanan, dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara. Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir. Soekarno selaku Presiden RI memberikan perintah kepada  Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966  (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru. Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah  melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apakah tekad tersebut menjadi suatu kenyataan? Ternyata tidak. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, dan keadilan sosial ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat dominannya  kekuasaan Presiden dan lemahnya kontrol DPR terhadap  kebijakan-kebijakan Presiden/pemerintah.  Selain itu, kelemahan tersebut terletak pada UUD  1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel), sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah atau menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan  pemerintahan Orde Baru bertekad untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.

5. UUD 1945 Periode 19 Oktober 1999 – Sekarang
Seiring dengan tuntutan reformasi  dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa  Orde Baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Sampai saat ini, UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000,  2001, dan 2002. Penyebutan UUD setelah perubahan menjadi lebih lengkap, yaitu : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui empat tahap perubahan tersebut, UUD 1945  telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan  itu menyangkut kelembagaan negara, pemilihan  umum, pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintahan daerah, dan ketentuan yang terinci tentang hak-hak asasi manusia. Pertanyaan kita sekarang, apakah UUD 1945 yang  telah diubah tersebut telah dijalankan sebagaimana mestinya?  Tentu saja masih harus ditunggu perkembangannya,  karena masa berlakunya belum lama dan masih masa  transisi. Setidaknya, setelah perubahan UUD 1945, ada  beberapa praktik ketatanegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung. Misalnya dalam hal pemilihan Presiden  dan Wakil Presiden, dan pemilihan Kepala Daerah  (Gubernur dan Bupati/Walikota).
Hal-hal tersebut tentu  lebih mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara kita. Perlu kalian ketahui bahwa setelah melalui serangkaian perubahan (amandemen), terdapat lembaga-lembaga negara baru yang dibentuk. Sebaliknya terdapat lembaga  negara yang dihapus, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 sesudah  amandemen adalah:  UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sumber: Setjen MPR

a) Presiden 
b) Majelis Permusyawaratan Rakyat
c) Dewan Perwakilan Rakyat
d) Dewan Perwakilan Daerah
e) Badan Pemeriksa Keuangan
f) Mahkamah Agung
g) Mahkamah Konstitusi
h) Komisi Yudisial

6. Hasil-Hasil Perubahan UUD 1945
Perubahan Undang-Undang Dasar atau sering pula digunakan istilah amandemen Undang-Undang Dasar merupakan salah satu agenda reformasi. Perubahan itu dapat berupa pencabutan, penambahan, dan perbaikan. Sebelum menguraikan hasil-hasil perubahan UUD 1945, kalian akan diajak untuk memahami dasar pemikiran perubahan, tujuan perubahan, dasar yuridis perubahan, dan beberapa kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain :
a.       UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar pada Presiden yang meliputi kekuasaan eksekutif dan legislatif, khususnya dalam membentuk undangundang.
b.      UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes (fleksibel) sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu  tafsir (multitafsir).
c.       Kedudukan penjelasan UUD 1945 sering kali diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 memiliki beberapa tujuan,antara lain :
a.       Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional dan memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.      Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
c.       Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia yang merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang tercantum dalam UUD 1945.
d.      Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan Negara secara demokratis dan modern.
e.       Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan ne-gara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
f.       Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan bangsa dan negara. Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, terdapat beberapa kesepakatan dasar yang penting kalian pahami. Kesepakatan tersebut adalah :
Ø  Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
Ø  Tetap mempertahankan NKRI
Ø  Mempertegas sistem pemerintahan presidensial
Ø  Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh)
Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan secara bertahap karenamendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua fraksi di MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal-pasal yang lebih sulit memperoleh kesepakatan. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali melalui mekanisme siding MPR yaitu:
a.       Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999
b.      Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000
c.       Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001
d.      Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002.
Perubahan UUD Negara RI 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD itu sendiri bukan untuk mengganti. Secara umum hasil perubahan yang dilakukan secara bertahap MPR adalah sebagai berikut:
Perubahan Pertama.  Perubahan pertama terhadap UUD 1945 ditetapkan pada tgl. 19 Oktober 1999 dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 sebagai sesuatu yang suci yang tidak boleh disentuh oleh ide perubahan. Perubahan Pertama terhadap UUD 1945 meliputi 9 pasal, 16 ayat, yaitu :
Pasal yang Diubah Isi Perubahan
·         5 ayat 1
·         Pasal 7
·         Pasal 9 ayat 1 dan 2
·         Pasal 13 ayat 2 dan 3
·         Pasal 14 ayat 1
·         Pasal 14 ayat 2
·         Pasal 15
·         Pasal 17 ayat 2 dan 3
·         Pasal 20 ayat 1 – 4
·         Pasal 21
·         Hak Presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR
·         Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
·         Sumpah Presiden dan Wakil Presiden“
·         Pengangkatan dan Penempatan Duta
·         Pemberian Grasi dan Rehabilitasi
·         Pemberian amnesty dan abolisi
·         Pemberian gelar, tanda jasa dan kehormatan lain
·         Pengangkatan Menteri
·         DPR
·         Hak DPR untuk mengajukan RUU
Perubahan Kedua. Perubahan kedua ditetapkan pada tgl. 18 Agustus 2000, meliputi 27 pasal yang tersebar dalam 7 Bab, yaitu:
Bab yang Diubah Isi Perubahan
·         Bab VI
·         Bab VII
·         Bab IXA
·         Bab X
·         Bab XA
·         Bab XII
·         Bab XV
·         Pemerintahan Daerah
·         Dewan Perwakilan Daerah
·         Wilayah Negara
·         Warga Negara dan Penduduk
·         Hak Asasi Manusia
·         Pertahanan dan Keamanan
·         Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
Perubahan Ketiga. Perubahan ketiga ditetapkan pada tgl. 9 November
2001, meliputi 23 pasal yang tersebar 7 Bab, yaitu:
Bab yang Diubah Isi Perubahan
• Bab I
• Bab II
• Bab III
• Bab V
• Bab VIIA
• Bab VIIB
• Bab VIII
• Bentuk dan Kedaulatan
• MPR
• Kekuasaan Pemerintahan Negara
• Kementerian Negara
• DPR
• Pemilihan Umum
• BPK

Perubahan Keempat. Ditetapkan 10 Agustus 2002, meliputi 19 pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta
1.      Butir yang dihapuskan. Dalam naskah perubahan keempat ini ditetapkan bahwa:
·         UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
·         Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat Paripurna MPR RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
·         Bab IV tentang “Dewan Pertimbangan Agung” dihapuskan dan pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya kedalam Bab III tentang “Kekuasaan PemerintahanNegara”.


6. Penyimpangan-Penyimpangan Terhadap Konstitusi
Dalam praktik ketatanegaraan kita sejak 1945 tidak jarang terjadi penyimpangan terhadap konstitusi (UUD).

1. Penyimpangan terhadap UUD 1945 masa awal kemerdekaan, antara lain:
a.       Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X (baca: eks) tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah fungsi KNIP dari pembantu menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN sebelum terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 aturan peralihan yang berbunyi ”Sebelum MPR, DPR, dan DPA terbentuk, segala kekuasaan dilaksanakan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.
b.      Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang merubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 UUD 1945.

2. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Lama, antara lain:
a.       Presiden telah mengeluarkan produk peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden, yang hal itu tidak dikenal dalam UUD 1945.
b.      MPRS, dengan Ketetapan No. I/MPRS/1960 telah menetapkan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN yang bersifat tetap.
c.       Pimpinan lembaga-lembaga negara diberi kedudukan sebagai menteri-menteri negara, yang berarti menempatkannya sejajar dengan pembantu Presiden.
d.      Hak budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan;
e.       Pada tanggal 5 Maret  1960, melalui Penetapan Presiden No.3 tahun 1960, Presiden membubarkan anggota DPR hasil pemilihan umum 1955. Kemudian melalui Penetapan Presiden No.4 tahun 1960 tanggal 24 Juni 1960 dibentuklah DPR Gotong Royong (DPR-GR).
f.       MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan Nomor III/MPRS/1963.
3. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Baru:
a.       MPR berketetapan tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahanterhadap UUD 1945 serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen (Pasal 104 Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 tentang Tata Tertib MPR). Hal ini bertentangan dengan Pasal 3 UUD 1945 yang memberikankewenangan kepada MPR untuk menetapkan UUD dan GBHN, serta Pasal 37 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah UUD 1945.
b.      MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang mengatur tata cara perubahan UUD yang tidak sesuai dengan pasal 37 UUD 1945 Setelah perubahan UUD 1945 yang keempat (terakhir) berjalan kurang lebih 6 tahun, pelaksanaan UUD 1945 belum banyak dipersoalkan. Lebih-lebih mengingat agenda reformasi itu sendiri antara lain adalah perubahan (amandemen) UUD 1945. Namun demikian, terdapat ketentuan UUD 1945 hasil perubahan (amandemen) yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah, yaitu anggaran pendidikan dalam APBN yang belum mencapai 20%. Hal itu ada yang menganggap bertentangan dengan Pasal 31ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD Tahun1945 dapat disederhanakan dalam bagan di bawah ini.
Penyimpangan terhadap UUD Tahun 1945Masa Setelah Perubahan Masa Orde Baru:
(1). Masa Orde Lama Masa awal Kemerdekaan dalam bentuk Penetapan Presiden
(2). Pidato Presiden sebagai GBHN
(3). Pimpinan lembaga Negara sebagai menteri
(4). Hak budget tidak berjalan
(5). Pembubaran DPR oleh Presiden
(6). Pengangkatan Presiden Seumur Hidup
a) MPR tidak berkehendak merubah UUD 1945
b) Mengeluarkan Tap MPR tentang referendum Anggaran pendidikan dalam APBN belum sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945
Ø  KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN
Ø  Menerapkan sistem parlementer

Komentar

  1. berdasarkan fakta yang kita sering jumpai pada media. yang berkaitan khususnya mengenai hukum pada bangsa ini sangatlah lemah. nah kalau dikembalikan lagi kepada kontitusi sebagai landasan hukum negara itu bagaimana ? dimana letak kesalahanya ?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

materi manajemen perkantoran tentang lingkungan fisik kantor

makalah "hubungan interpersonal" mata kuliah psikologi sosial

makalah "manusia sebagai makhluk individu dan sosial" mata kuliah ISBD