matkul : dasar-dasar ilmu administrasi
Makalah
kebudayaan yang mempengaruhi sistem
pemerintahan Kampung Baduy
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
dasar-dasar
ilmu administrasi
Disusun oleh :
1.
Ade
ainul yakin
2.
Didin
3.
Reza
juniawan
4.
Ira
harmila
5.
Mariam
ramadanti
6.
Sea
agustin
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN POLITIK
UNIVESITAS
GALUH CIAMIS
Jln.
R.E Martadinata No.150 Tlp./Fax. (0265) 776790 Ciamis 46251
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb
Puja
dan puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
ridhoNya penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini. makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah dasar-dasar ilmu administrasi dengan judul “kebudayaan
yang mempengaruhi sistem pemerintahan kampung baduy”.
Selain
itu, makalah ini juga dijadikan sebagai pencerahan mengenai kebergaman budaya
dan menerangkan kekuatan prinsip dalam mempertahankan budaya ditengah arus
modernisasi dengan segala teknologi yang ada.
Penelitian
ini dilakukan sebagai upaya untuk mendeskripsikan bagaimana pranata
kepemimpinan yang ada dalam pemerintahan kampung Baduy dengan peran untuk mengendalikan warga
masyarakatnya dalam bertahan dari berbagai pengaruh modernisasi. penelitian ini yang dilakukan melalui
pengumpulan data dengan cara pengumpulan materi-materi yang ada dan tersedia di
internet.
Penyusun
berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi penyusun khususnya dan secara umum
bagi para pembaca sebagaimana pada fungsinya makalah ini yaitu untuk mengetahui
suatu objek budaya yang masih kokoh terjaga di era modernisasi ini.
Ciamis,
10 november 2011
penyusun
BAB. 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Sebuah budaya sangatlah mempengaruhi
cara pemimpin dan sistem pemerintahan yang dilaksanakan dalam suatu wilayah
baik itu konteks wilayah besar ataupun kecil.
Dalam konteks itu, masyarakat Baduy
hingga kini masih terus bertahan dari berbagai pengaruh luar baik agama maupun
teknologi pertanian yang sederhana sekalipun.
Untuk bertahan mereka diikat oleh sistem
pemerintahan yang bukan hanya mengatur kehidupan sosio-politik tetapi juga
keagamaan. Sistem pemerintahan modern yang ditampilkan melalui pemerintahan
desa memang turut mewarnai kehidupan sosio-politik mereka.
1.2
TUJUAN DAN
MANFAAT
Pembuatan
makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan cara kepemimpinan masyarakat Baduy
dalam upaya terus mempertahankan budaya
dan mengendalikan warga masyarakatnya.
Berdasarkan tujuan tersebut penulis
berharap bahwa makalah ini dapat memberikan pencerahan mengenai sosial dan
politik yang dalam konteks sempitnya yaitu ada di kampung Baduy dengan segala
kebudayaan yang selalu mereka taati.
1.3 METODE PENELITIAN
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi, atau cara serupa yaitu melalui pendekatan prosesual untuk
mengumpulkan data yang berkaitan dengan kebudayaan. Data kebudayaan dihimpun
adalah kelakuan, tata kelakuan dan hasil kelakuan pada masyarakat Baduy. Teknik
pengumpulan data yaitu melalui pencarian dari berbagai sumber yang tersedia di
media elektronik.
BAB. 2
SEJARAH
KAMPUNG BADUY DAN KEBUDAYAANNYA
2.1
Asal-usul nama Baduy dan sebutannya
Asal-usul kata baduy dicatat dalam
ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita tentang “karuhun”. Bagi Orang Baduy, yang melihat tentang catatan waktu
ialah segala peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya, proses waktu merupakan
perjalanan riwayat dunia yang setara dengan keadaan alam semesta.
Pembakuan sebutan Badawi, “Badoeien, Badoei dan Bedoeis” oleh orang-orang
Belanda seringkali ditunjang pula oleh laporan-laporan resmi para pejabat
pemerintahan kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa kata “Badoeis” dikaitkan dengan kata “badwi”
kelompok masyarakat Arab yang hidup secara nomaden di gurun pasir. Namun
menurut Pleyte (1909), kata Baduy tidak ada kaitannya dengan kata” Badwi” tetapi semata-mata nama
Baduy yang berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Kanekes.
Itu artinya, untuk menyebut diri
sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Sunda menyebut nama
kampung atau tempat bermukim, tempat dilahirkan atau tempat yang dapat
memberikan arti penting dalam kehidupannya. Sehubungan dengan itu, tidaklah
mengherankan apabila sebutan “urang”
Kanekes dipakai pula oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan
nilai budayanya.
2.2 kampung
dan ikatan kekerabatannya
Untuk melihat kekerabatan orang
Baduy, lokasi tempat tinggal mereka dianggap penting. Lokasi permukiman itu
menentukan pada kedudukan mana terletak seseorang sebagai keturunan para
Batara. Selain itu, dapat pula dipahami berbagai sistem sosial lainnya seperti
perkawinan, pola tempat tinggal sesudah kawin, penempatan rumah di kampung yang
dapat memberikan gambaran tentang kekerabatan dan kedudukannya dalam
masyarakat.
Hubungan antara sistem kekerabatan
dan lokasi kampung dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama tentang kampung
“tangtu” kedua, kampung” panamping” dan ketiga “pajaroan”. Tentang hal itu, ekpresi
orang Baduy menyatakan seluruh wilayah Desa Kanekes adalah “tangtu teulu jaro tujuh”
Prinsip kekerabatan dalam konteks
Orang Baduy sebagaimana ditunjukkan oleh N.J.C. Geise (1952), tidak menyimpang
dari model klasik yang dibuat oleh van Wouden (1935), untuk beberapa masyarakat
Indonesia Timur. Menurutnya, ada beberapa perubahan yang terjadi disebabkan
isolasi yang dilakukan Orang Baduy sendiri. Model van Wouden berdasarkan
perkawinan asimetris (asymetric connumbium), dan garis keturunan (double
descent) serta preferensi perkawinan antarsepupu (cross-cousins
marriage) dengan kedudukan yang utama untuk saudara laki-laki dari pihak
ibu.
Temuan Geise tentang sistem
kekerabatan Orang Baduy yang sebagaimana model Van Wouden itu dibantah oleh
Berthe, sebab ia menganggap bahwa model klasik yang diajukan itu hampir tidak
bisa dipakai untuk menelaah kekerabatan Orang Baduy.
Kalau bisa dipakai pun, seharusnya
akan diperoleh sesuatu istilah untuk saudara laki-laki dari pihak ibu di dalam
terminologi kekerabatan Orang Baduy.
Dalam kenyataannya Geise tidak menyebutkan istilah itu. Namun begitu, Berthe
berdasarkan kekerabatan Orang Baduy mengidentifikasi atas sesuatu sifat yang
khas Orang Sunda, yaitu perlawanan (oposisi) antara kakak dan adik.
Dari perlawanan itu ada
kecenderungan yang dianggap paling baik bagi perkawinan anak laki-laki yang
pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir
(adik) dari garis keturunan yang lain. Kemudian hal yang dianggap penting dalam
kaitan dengan ketentuan itu adalah adik tidak boleh melangsungkan perkawinan
sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal).
Dalam prakteknya pada Orang Baduy
tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan (paralel-cousins) dan
antarsepupu (cross-cousins) (Garna,1987), sehingga ada kecenderungan
dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, yang menurut
Berthe (2000) dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Atau, istilah
Orang Baduy menyebut dengan baraya.
2.3 asal
keturunan
Orang Baduy mengelompok menurut asal
keturunan tangtu, yaitu keluarga luas yang tinggal dalam satu kampung.
Ada 3 kelompok kekerabatan dalam kesatuan, yaitu tangtu Cikeusik, tangtu
Cikartawana dan tangtu Cibeo. Adapun hirarki kekerabatan itu sesuai
dengan urutan dari yang paling tua ke yang paling muda, yaitu Cikeusik,
Cikartawana, dan Cibeo.
Seluruh Desa Kanekes terbagi dalam
dua wilayah penting, yaitu wilayah tangtu (sakral) dan wilayah panamping
(profan). Hal itu, berpengaruh pada pembagian warga masyarakat Baduy dalam dua
paroh masyarakat, yaitu tangtu dan panamping, menentukan posisi
masing-masing dalam rangka suatu kesatuan masyarakat.
Peranan untuk saling mengendalikan
dan mengawasi ditentukan oleh sistem pajaroan yang dibentuk serta
dipimpin oleh tangtu atau tiga puun. Puun mengangkat
seorang jaro, yaitu tanggungan jaro duawelas yang bertugas
mengawasi para jaro, terutama para jaro di panamping dan
dangka.
BAB. 3
SISTEM PEMERINTAHAN KAMPUNG BADUY
Dalam pemerintahan Baduy dikenal suatu sistem pemimpin yang meliputi
sejumlah pejabat dengan sebutan sendiri-sendiri. Orientasi setiap pemimpin
kepada pemimpin tertinggi, yakni para puun. Mereka dianggap satu
kesatuan pemimpin tertinggi untuk mengatasi semua aspek kehidupan di dunia dan
mempunyai hubungan dengan karuhun. Dalam kesatuan puun tersebut
senioritas ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam
pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan.
Puun memiliki
kekuasaan dan kewibawaan yang sangat besar, sehingga para pemimpin yang ada di
bawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Berdasarkan
konsep itu dalam menjalankan pemerintahannya, semua lingkup dan mekanisme
kekuasaan tercakup dalam tiga tangtu dan tujuh jaro.
Dengan demikian, bagi orang Baduy
seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang seurat,
tangkesan kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para puun
yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks itu,
ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran
dan pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya
terikat oleh satu hubungan kerabat yang erat.
Perbedaan peran yang mendasar antara
para pemimpin yang disebut puun dan yang disebut para jaro,
adalah pada tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun
berurusan dengan dunia gaib sedangkan para jaro bertugas menyelesaikan
persoalan duniawi. Atau, dengan perkataan lain, para puun berhubungan
dengan dunia sakral dan para jaro berhubungan dengan dunia profan. Oleh
karena itu, para puun menerima tanggung jawab tertinggi pada hal-hal
yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi kehidupan sosial dan religius,
sehingga kehidupan warga masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib.
Dalam situasi seperti itu warga
masyarakat dituntut patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah
digariskan para karukun. Pelanggaran terhadap pikukuh berarti
telah siap menerima hukuman berupa pengusiran dari daerah tangtu.
bagi masyarakat panamping melanggar
ketentuan itu berarti harus menangung kewajiban bekerja di huma puun,
yang lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran.
Dalam pemerintahan Baduy, dimulai dari lingkungan rumah, yakni seorang
kepala keluarga inti mengatur kehidupan para anggota keluarganya, termasuk
pengawasan sosial terhadap aturan adat. Urusan dan pengaturan yang dilakukannya
ialah membina kehidupan keluarga intinya, berhuma, hubungan dengan kaum
kerabat, melakukan perhitungan untuk menentukan saat mulai menanam, bepergian,
menyelenggarakan perkawinan, pengasuhan, pendidikan anak dan turut serta dalam
berbagai upacara.
Pada tingkat kampung ada beberapa
jenis pemimpin. Di dangka terdapat seorang pemimpin adat dan agama yang disebut
jaro dangka. Ia meneruskan dan mengawasi ketentuan karuhun yang
disampaikan melalui puun, dan ia juga dapat berkumpul di tangtu
dalam upacara keagamaan. Selain itu,
jaro dangka diharuskan turut serta dalam upacara membersihkan tangtu
dari dosa yang ditinggalkan oleh si pelanggar. Itu artinya, dalam pamarentahan
Baduy, ada dua orang yang dituakan dalam kampung panamping namun
berfungsi berbeda, yaitu: pertama, kokolotan lembur. Yang menjadi
pemimpin pikukuh. Ia bertugas atas nama puun untuk mengawasi,
mengatur, dan melaksanakan ketentuan puun. Kedua, kokolot lembur yang
kedudukannya sejajar dengan ketua rukun kampung dalam sistem
pemerintahan formal.
Pemimpin tangtu adalah jaro
tangtu. Ia bertugas sebagai kokolotan lembur dan sekaligus pula
bertindak sebagai kokolot lembur. Selain itu, ia pun harus turut serta seba
ke ibukota kabupaten di Rangkasbitung dan keresiden Banten yang kini menjadi
Gubernur di Serang.
Jaro tangtu
diangkat menurut alur keturunan dari para jaro terdahulu, yang disiapkan
oleh pikukuh langsung di bawah tangkesan dan pengawasan puun.
Apabila calon jaro tangtu dianggap siap, walaupun ia masih muda,
ia dapat diangkat.
Dalam pamarentahan Baduy,
istilah jaro banyak digunakan. Arti kata jaro sendiri adalah
ketua kelompok atau pemimpin. Pada tingkat panamping terdapat seorang jaro
yang tidak hanya mengurus dan mengatur seluruh jaro, tetapi juga
berkuasa mutlak sebagai pengawas serta pelaksana tertinggi pikukuh di panamping.
Dari keduabelas jaro, yaitu
tiga jaro tangtu, tujuh orang jaro dangka, seorang jaro
warega, dan seorang jaro pamarentah, maka ia adalah koordinator kerja
para jaro yang dalam pamarentahan Baduy dikenal dengan sebutan jaro
duawelas. Jaro warega berperan dalam upacara keagamaan,
terutama untuk persiapan dan pelaksanaan seba, tetapi pada posisi
pimpinan dalam Sunda Wiwitan, ia adalah pembantu utama tanggungan jaro
duawelas.
Jaro pamarentah,
adalah jaro Kanekes, kepala desa yang pengangkatannya disetujui oleh
kedua belah pihak, para puun dan pemerintah daerah. Acuan ke atas juga
dua yaitu puun dan camat. Karena itu seorang jaro pamarentah
merupakan pengimbang di antara kedua kategori pemimpin itu, yang dengan penuh
bijaksana harus mampu melaksanakan semuanya. Masa kerja seorang jaro pamarentah
tergantung dari lamanya dan sejauh mana ia mampu melaksanakan kebijaksanaan
pengimbang dimaksud. Jaro pamarentah dibantu oleh paling tidak
tiga orang pembantu utama, yaitu carik adalah juru tulis desa yang selalu
berasal dari luar Kanekes, dan dua orang pangiwa, pembantu jaro pamarentah
yang berasal dari panamping.
Pada tingkat tangtu terdapat
tiga puun, yang tidak hanya menjadi pemimpin agama dan adat tertinggi di
kampung tangtu, tetapi juga untuk seluruh Kanekes. Semua pemimpin
bawahan termasuk jaro pamarentah harus tunduk kepada mereka. Puun
dalam menjalankan aktivitasnya dibantu oleh sejumlah pejabat adat dan agama.
Pejabat adat dan agama tertinggi yang berfungsi sebagai penasihat ialah tangkesan
yang juga disebut dukun putih. Ia biasanya berasal dan berkedudukan di kampung
Cikopeng.
Dukun-dukun pada tingkat kampung
lainnya selain berada di bawah pengawasan puun juga diamati oleh tangkesan.
Puun mempunyai staf yang lengkap, seperti seurat atau girang
seurat yang menjadi pembantu puun untuk berbagai hal. Jabatan seurat
hanya ada di Cikeusik dan Cibeo, tetapi tidak ada di Cikartawana.
Jaro tangtu
membantu seurat dan puun secara langsung. Penyampaian berita dan
lain-lainnya dilakukan oleh pembantu umum. Jumlahnya tergantung dari kekerapan
kerja, upacara dan pelaksanaan pikukuh.
Semacam dewan penasihat puun
terdapat di setiap kampung tangtu, yang disebut baresan (barisan,
dewan atau kumpulan) atau sering disebut baresan salapan, karena terdiri
dari sembilan orang tokoh, termasuk jaro tangtu, seurat dan
lainnya. Fungsi baresan adalah membantu puun dan jaro tangtu
memecahkan berbagai masalah dan melaksanakan pikukuh.
(Struktur pemerintahan suku baduy)
Dengan demikian seorang puun
didukung oleh panasihat batin melalui tangkesan dan penasihat
pelaksanaan pikukuh oleh baresan salapan. Pengawasan para puun
mampu menjangkau wilayah dan seluruh warga Kanekes melalui tanggungan jaro
duawelas dan dukun-dukun lembur serta kokolotan lembur.
Dalam konteks itu, pamarentahan
Baduy berfungsi untuk mensucikan dan membuat tapa dunia, termasuk memelihara
alam sebagai pusat dunia, sedangkan dunia beserta isinya dijaga oleh keturunan
muda, dan sultan-sultan Banten yang harus membuat dunia ramai.seorang pemimpin
agama dihubungkan dengan garis keturunan yang paling tua, sedangkan seorang
pemimpin politik dihubungkan dengan garis keturunan yang paling muda.
Kekuasaan agama dihubungkan dengan
para leluhur atau karuhun dan kekuasaan politik dihubungkan dengan
aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu artinya, seorang pemimpin
agama mewujudkan identatis masyarakat Baduy, sedangkan seorang pemimpin politik
mengurus kehidupan duniawi termasuk mengurus dan memelihara kelestarian tanah.
Untuk melangsungkan aktivitasnya
itu, kegiatan duniawi dipusatkan di tangtu Cibeo, sedangkan aktivitas
keagamaan berada di tangtu Cikeusik. Namun tangtu dalam
menjalankan aktivitasnya itu saling menyokong dan sekaligus saling terikat.
Karena diantara keduanya saling
memberikan pengaruh untuk mengokohkan tradisi Baduy yang bersandar pada pikukuh
karuhun, yaitu: ‘nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu
ulah kudu diulahkeun’. Artinya, yang bukan harus dikatakan bukan, yang
benar harus dikatakan benar dan yang dilarang harus dikatakan dilarang.
BAB. 4
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan, bahwa dalam pemerintahan
Baduy seorang pemimpin dipilih dari kelompok keluarga tertentu yang
memang telah memiliki alur keturunan pemimpin, sekalipun demikian bukan berarti
masyarakat menyerahkan rekruitmen kepemimpinan kepada keberuntungan atau nasib.
Jadi rekruitmen kepemimpinan dalam hirarki pemerintahan Baduy diambil dari bagian sangat kecil dari seluruh
warga masyarakat.
Dalam penentuan pemimpin usia tidak
menjadi hal yang utama atau menjadi hambatan seseorang untuk bertahta menjadi
seorang pemimpin. Melainkan yang menjadi patokan adalah setiap individu Baduy cenderung menilai
bahwa derajat sebuah keluarga dan garis keturunan lebih tinggi.
Dalam konteks itu, kelompok-kelompok
keturunan satu garis kekerabatan (unilineal), menawarkan proposisi,
bahwa struktur politik dalam pemerintahan
Baduy selalu stabil dan dalam banyak hal persaingan internal yang mungkin
timbul dari perpecahan di antara garis-garis keturunan dapat dihindarkan dengan
adanya pembagian kewenangan yang didasarkan atas ikatan-ikatan kewilayahan yang
berkoeksistensi dengan hubungan-hubungan kekeluargaan.
Strategi dalam pemerintahan Baduy untuk menjalankan
kekuasaan dan kestabilan tradisi yang berpijak pada pikukuh didasarkan
landasan hubungan kekeluargaan dan ikatan-ikatan kewilayahan. Dalam pemerintahan seperti ini, susunan
yang dibentuk bertujuan untuk melaksanakan ketertiban sosial supaya kekuatan
sebuah ikatan wilayah lebih terjalin. Pemisahan yang berlangsung hanya sebatas
kewilayahan (kampung-kampung), namun pemisahan itu kemudian tercakup oleh
sistem pertalian keluarga yang kuat.
Komentar
Posting Komentar