MAKALAH MATKUL.SEMINAR AGAMA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 latar
belakang
Kedudukan
wanita dianggap sama dan sederajat dengan kaum lelaki begitulah yang dijelaskan
dan dikenal dengan istilah Emansipasi, dimana khususnya di Indonesia itu
sendiri diteriakan oleh seorang sosok wanita pada zaman penjajahan Belanda
yaitu tokoh R.A Kartini. Emansipasi menuntut bahwa adanya kesamaan hak dan
kedudukan antara kaum wanita dan laki-laki di dalam segala bidang apapun salah
satunya adalah hak sama untuk mendapatkan pendidikan dan kesamaan diberikan
kesempatan untuk menduduki suatu kekuasaan dalam sebuah system ketata negaraan.
Sebelum
R.A Kartini memperjuangkan hak wanita atau yang lebih dikenal dengan emansipasi
wanita itu sendiri, islam sendiri telah menerangkan bahwa kedudukan wanita dan
laki-laki itu sama khususnya dalam hal memimpin. Dalam hal ini pemimpin sebuah
Negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al- Qur’an
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan
shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri
balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (An Nahl: 97).
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al – Qur’an
banyak menceritakan persamaan kedudukan wanita dan pria, yang membedakannya
adalah ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada yang membedakan berdasarkan jenis
kelamin, ras, warna kulit dan suku. Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan
diminta untuk saling bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang
lainnya, sebagai mana di jelaskan dalam surat At – Taubah ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Terlebih pada sekarang ini Indonesia akan
melaksanakan sebuah bentuk nyata daripada deokrasi itu sendiri dimana telah
diatur bahwa quota dalam sebuah pemerintahan dalama rti lain yang mewakili
rakyat dipemerintahan 30% haruslah kaum perempuan. Maka dari itu, Pada
penulisan ini kami akan memaparkan mengenai pandangan islam terhadap
kepemimpinan perempuan.
1.2 rumusan masalah
a.
bagaimana
kedudukan wanita dalam islam ?
b.
bagaimana
pandangan islam terhadap kepemimpinan perempuan ?
1.3 tujuan penulisan
adapun tujuan daripada penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
a.
menjadi
syarat terpenuhinya tugas kelompok mata kuliah seminar agama
b.
mengetahui
tentang kedudukan wanita dalam islam
c.
mmengetahui
tentang pandangan islam terhadap kepemimpinan perempuan
1.4 manfaat penulisan
adapun manfaat penulisan ini adalah
sebagai berikut :
a.
dapat
mengetahui tentang kedudukan wanita dalam islam
b.
dapat
mengetahui tentang pandangan islam terhadap kepemimpinan perempuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 kedudukan wanita dalam islam
Sesungguhnya wanita muslimah
memiliki kedudukan yang tinggi dlm Islam dan pengaruh yang besar dlm kehidupan
setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama dlm membangun masyarakat yang
shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an & sunnah Nabi.
Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim & muslimah
dari kesesatan dlm segala hal. Kaum wanita tak diragukan lagi memiliki
kedudukan khusus dalam tatanan masyarakat Islam. Kedudukan itu amat mulia,
tidak mengurangi hak-hak mereka, juga tidak menjadikan nilai kemanusiaannya
rapuh.
Wanita muslimah di tengah masyarakatnya ditempatkan dalam posisi yg amat mulia. Islam memandang wanita lewat kesadaran terhadap tabi’atnya hakekat risalahnya serta pemahaman terhadap konsekwensi logis dari sepesial kodrat yg dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya.
Wanita muslimah di tengah masyarakatnya ditempatkan dalam posisi yg amat mulia. Islam memandang wanita lewat kesadaran terhadap tabi’atnya hakekat risalahnya serta pemahaman terhadap konsekwensi logis dari sepesial kodrat yg dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya.
Sebagian mereka, menganggap wanita sebagai sumber kejahatan dan
sebagian lagi menganggap wanitalah yang memasukan syetan ke dalam jiwa
seseorang. Ruh wanita juga dianggap sebagai ruh manusia yang bertugas melayani
laki- laki saja.
Berdasarkan hadist Nabi wanita dijadikan harta paling berharga dan
harus dijaga keindahannya agar keindahan yang terdapat didalamnya tidak luntur.
Di dalam kehidupan
sekarang ini, wanita tentunya memiliki peranan yang sangat penting dan tentunya
memiliki hak yang sama dengan laki-laki salah satunya dalam hal memimpin suatu
organisasi atau cakupan luasnya memimpin sebuah negara.
Seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an
Allah menjelaskan mengenai kedudukan wanita, di antaranya Allah berfirman:
والمؤمنون
والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة
ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسوله أولئك سيرحمهم الله إن الله عزيز حكيم
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan
mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At
Taubah: 71).
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa
pria dan wanita saling tolong menolong, terutama dalam satu rumah tangga dan
mempunyai tugas dan kewajiban yang sama untuk menjalankan amar ma’ruf, nahi
munkar.
Allah juga berfirman dalam QS. An-Nisaa’: 32,
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على
بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن...
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagia yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan...” (An-Nisaa:
32).
Kalau kita perhatikan, maka ayat ini
pun cukup jelas memberi gambaran, bahwa tidak ada diskriminasi bagi wanita,
tidak ada alasan untuk merendahkan derajat kaum wanita. Semuanya bergantung
kepada amalan masing-masing. Wanita mempunyai hak dari hasil usahanya
sebagaimaa pria, disamping juga mempunyai kewajiban.
selanjutnya dijelaskan bahwa dalam sistem Islam, wanita
ditempatkan dalam 3 kategori besar:
1.
Wanita
sebagai Anggota Umat Beriman
Wanita sebagai bagian tak terpisahkan
dari umat mendapat perlakuan yang sama persis dengan laki-laki. Baik dalam
urusan ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan laki-laki atas wanita. Dengan
demikian wanita mempunyai hak yang sama dalam usaha melakukan perbaikan
(ishlah) dalam masyarakat. Memang dalam batasan tertentu menurut Mazhab
Hambali, seorang wanita yang kafir tidak disiksa seberat laki-laki kafir.
Bahkan dalam sejarah banyak ditemukan bahwa wanita bagi umat memberikan makna
dan simbol kesucian dengan pengabdiannya yang luar biasa.
Dengan peranannya tersebut wanita menjadi sangat
mempunyai arti penting dalam dimensi spiritual. Di samping dalam lingkup
spiritual, wanita juga mempunyai peran penting dalam hal pendidikan anak.
2.
Wanita
Sebagai Anggota Keluarga
Kedudukan wanita di keluarga dalam
Islam ditempatkan sebagai tempat terhormat. Bahkan wanita di rumah tangganya
menjadi pilar utama yang akan menopang keberlangsungan keluarga. Kehormatan
wanita ini tercermin dalam ungkapan hadits: Seseorang bertanya kepada Nabi,
pekerjaan apakah yang sangat disenangi Tuhan. Ia berkata: menunaikan shalat
tepat pada waktunya. Orang itu melanjutkan: kemudian apa ? Nabi bersabda,
bersikap murahlah kepada ayah dan ibumu.
Bahkan dalam ungkapan hadits yang
lain, yang paling dihormati di dalam keluarga adalah ibu, baru kemudian ayah.
Sebelum kehadiran Islam, seperti yang telah diungkap Qur'an kelahiran seorang
wanita adalah sebuah aib bahkan jika lahir hidup akan dikubur hidup-hidup. Ini
tertuang dalam ayat berikut:
"Apabila
seorang di antara mereka menerima berita dengan kelahiran anak perempuan,
hitamlah muka mereka dan sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Mereka bertanya
kepada dirinya sendiri, apakah ia akan menanggung kehinaan ataukah akan
mengguburnya ke dalam tanah." (QS 16: 58-59)
Dengan mempertimbangkan kejadian ini, maka Al-quran
memberikan jaminan persamaan akan hak hidup perempuan:
"Dan
apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah
dia dibunuh ... maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah
dikerjakannya" (QS. 31:8-9). Dalam pandangan Islam, kedudukan wanita
di keluarga memberikan makna penjagaan syariat. Dialah pendidik dan penanam
utama syariat sedari dini kepada anggota keluarga yang lain. Lebih dari itu,
seorang wanita akan menjadi peletak kepemimpinan dan syura dalam keluarga. Dari
sinilah arti penting wanita dalam proses pendidikan dan sosialisasi dalam
keluarga.
3.
Wanita
Sebagai Anggota Dalam Masyarakat
Peranan wanita dalam masyarakat
merupakan pokok persoalan. Di mana kecenderungan penilaian bahwa normativitas
Islam menghambat ruang gerak wanita dalam masyarakat. Hal ini didukung oleh
pemahaman bahwa tempat terbaik bagi wanita adalah di rumah, sedangkan di luar
rumah banyak terjadi kemudharatan. Pandangan yang paling umum adalah bahwa
keluarnya wanita dari rumah untuk maksud tertentu dihukumi dengan subhat,
antara diperbolehkan dan tidak. Dalam bahasan fiqh ibadah, jika subhat lebih
baik ditinggalkan. Sedangkan dalam fiqh muamallah bisa dijalankan dengan
rukhshah darurat. Akan tetapi menurut pandangan Qardhawy,[4] bahwa keluarnya
wanita dari rumah untuk keperluan tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan
wanita di dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka waktutertentu
sebagai bentuk penghukuman. Hal ini tercermin dalam :
"Maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya
atau sampai Alloh memberi jalan yang lain kepadanya" (QS. 4:15)
Peranan wanita dalam masyarakat
tidak terpisahkan dari keluarga. Perubahan sosial di masyarakat tidak akan
berlangsung jika tidak terdapat gerakan dari keluarga. Keterlibatan wanita
dalam masyarakat menurut Darleney May adalah; sebagai agen intelektual, sebagai
agen ketrampilan masyarakat, sebagai agen di bidang politik, sebagai agen di
bidang militer, sebagai agen di bidang hukum dan di bidang ekonomi.
2.2 Pandangan Islam terhadap Kepemimpinan
Perempuan
Pemimpin dalam suatu organisasi sangatlah diperlukan. Peran
pemimpin bukan hanya menjadi tonggak berjalannya kegiatan namun juga menjadi
pemersatu anggota maupun karyawan yang dinaunginya. Normalnya, menganut pada
budaya dan norma yang ada di Indonesia, pemimpin adalah jabatan seorang lelaki.
Lelaki sudah menjadi simbol kepemimpinan sejak dulu kala dan perempuan selalu
identik dengan keindahan, kelembutan atau mungkin kelemahan. Maka tak jarang
identitas gen tersebut sering dijadikan amunisi utama distinguis laki-laki dan
perempuan. Pendapat bahwa perempuan itu tidak berfikir secara logika ,
mengandalkan naluri, dan irrasionalitas menjadikan perempuan jarang ditempatkan
diposisi penting. Ketimpangan yang sering
dinamakan
”kodrat wanita” ini bahkan menjadi sebuah konstruksi sosial, (Fakih, 1996,
hlm
11).
Baik dari sisi agama yang menyebutkan lelaki adalah imam
(pemimpin) dari perempuan seperti pada QS. An Nisaa, surat 4 ayat 34,
“Oleh karena Allah telah
melebihkan
sebagian mereka (laki-laki)”, kebudayaan khususnya yang menganut sistem
patrilinear yang mengagung-agungkan lelaki, dan juga sisi lain yang
menganggap feminitas tak layak menempati kedudukan paling puncak dalam suatu
organisasi. Perempuan sendiri dianggap rentan untuk mengurusi hal-hal yang
bersifat besar dan formal apalagi menjadi kepala dalam suatu organisasi.
Meskipun begitu, dalam perkembangannya kepemimpinan perempuan menjadi salah
satu bentuk emansipasi perempuan yang sudah sejak dasawarsa ini didengungkan
disini kami akan menerangkan bahwa terdapat tiga pandangan
tentang kepemimpinan perempuan dalam fiqh Islam, yaitu:
1) Wanita tidak
mempunyai hak sama sekali dalam berpolitik. Di antara dalil yang dipakai untuk
menguatkan pendapat mereka adalah adanya ketentuan laki-laki adalah pemimpin
(An-Nisa 32 dan 34, Al-Baqarah: 228), hadis Abu Bakrah, ketika Rasulullah
mengetahui Kaum Parsi dipimpin oleh seorang wanita, Rasulullah bersabda: “Tidak
akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita.” (HR Bukhari
Muslim).
2) Sebagian besar
ulama klasik dan kontemporer, memandang wanita memiliki hak berpolitik yang
sama seperti laki-laki kecuali memegang pucuk pemerintahan (presiden), dengan
beralasan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dalam Islam (Al-Baqarah:228, Al-Hujurat:13, Al-Taubah: 71 dan Al-Nur: 30-31).
Alasan pendapat yang kedua bahwasanya wanita kapabel untuk berpartisipasi dalam
wilayah politik, seperti bukti sejarah tentang suksesnya Ratu Bilqis yang
memerintahkan Saba (Al-Naml : 32-34). Rasulullah juga mengakui suaka politik
dari kaum wanita, seperti Ummu Hani dalam peristiwa Fath Mekkah, Rasulullah
juga menerima bai’at kaum wanita. Juga penyebaran dakwah Islam dengan
periwayatan hadis yang dilakukan juga oleh kaum Muslimah seperti Aisyah ra.
3) Pendapat ketiga
memandang wanita berhak berpolitik seperti laki-laki termasuk memegang pucuk
pemerintahan. Kelompok yang sebagian besar ulama kontemporer ini
mengintepretasikan Hadis Abu Bakrah khusus ditujukan untuk Kaum Persia yang
saat itu dipimpin oleh seorang wanita, bukan dipukul rata untuk semua kaum.
Juga mengambil dalil dari kisah sukses Ratu Bilqis yang diceritakan dalam
Al-Qur’an (An Naml : 32-34), serta suksesnya pemimpin wanita seperti Margareth
Teacher, Indira Gandhi, bahkan kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh seorang
wanita.
Realitas sekarang ini memperlihatkan bahwa pandangan
mengenai kehebatan laki-laki dan kelemahan perempuan dari sisi intelektual dan
profesi tengah digugat. Kehebatan intelektual dan profesi adalah dua hal yang
menjadi syarat bagi kepemimpinan. Dengan syarat seperti ini, terbuka kesempatan
yang luas bagi perempuan untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan publik,
termasuk menjadi presiden.
Bahkan
Imam Khomeini menyuruh perempuan untuk ikut serta dalamkegiatan sosial-politik
untuk membangun masyarakat, dengan tidak melupakan hal bahwa terjunnya para
wanita tersebut pada dunia social-politik tetap diperlukan melakukan pembicaraan
terlebih dahulu kepada suaminya. Selanjutnya ImamKhomeini menjelaskan bahwa,
perempuan memiliki perannya sendiri ketika mereka berpartisipasi dalam kegiatan
sosial-politik. Seperti membangun bangsa, berpartisipasi dalam legislatif, atau
keterlibatan dalam pengawasan sosial. Terlebih pula munculnya suara-suara penolakan terhadap isu kepemimpinan perempuan lebih
banyak disuarakan dalam nada budaya.Nuansa patriarkis dalam banyak
kebudayaan seringkali lebih menjadi alasan tepat mengapa mereka menolak
kepemimpinan perempuan.
Dimana
penolakan mereka kepada seorang pemimpin perempuan bukanlah bersumber pada
latar belakang keagamaan, melainkan kebudayaan. Setelah itu, barulah
mereka mencari pembenaran dalam kajian keagamaan. Pada era kontemporer
sekarang ini, ketika banyak perempuan yang menjadi kepala daerah
atau bahkan kepala negara, penolakan kebanyakan terjadi pada masyarakat
tradisional. Bahkan, ketika seorang perempuan tersandung suatu masalah pada
masa kepemimpinannya, banyak yang dengan mudah mengatakan bahwa sebabnya ialah
gender. Ini artinya, budaya adalah faktor lain sebab banyak penolakan terhadap
kepemimpinan perempuan.
Kemudian
dijelaskan pula salah satu peranan wanita yaitu sebagai anggota masyarakat dengan
begitu, wanita juga memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan dan kondisi
sosialnya. Posisi ini menuntut peranan seorang wanita, tidak hanya dalam
kehidupan privat, tetapi juga kehidupan politik.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa islam sendiri tidak melarang atau bahkan mengharamkan
seorang wanita itu menjadi seorang pemimpin atau turut berpartisipasi dalam
persoalan ilmu pengetahuan yang sangat spesifik atau bahakan turut
berpartisipasi pada masalah-masalah legislasi kalu dianggap bahwa pengalaman
dan kompetensi telah terpenuhi oleh wanita itu sendiri karena dalam Al- Qur’an
sendiri telah dijelaskan bahwa kedudukan dalam hal ini memimpin yaitu sama
antara wanita dan laki-laki yang membedakan dalam islam adalah ketaqwaaannya
terhadap Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Kepemipinan
wanita dalam sebuah organisasi atau dalam sebuah sebuah Negara itu
diperbolehkan karena pada dasarnya baik itu wanita ataupun laki-laki memiliki
hak yang sama dalam hal turut serata dalam dunia social dan politik karena yang
menjadi dasar seorang pemimpin adalah individu yang mempunyai kemampuan dan
pengetahuannya terhadap suatu ilmu pengetahuan, karena yang membedakan keduanya
dimata Allah SWT adalah iman dan ketaqwaannya terhadap agama yang dianutnya
(islam). Walaupun wanita memiliki hak sama seperti layaknya laki-laki dalam hal
untuk memimpin akan tetapi wanita tidak boleh sampai mengabaikan apa yang
menjadi tugas dan peran utamanya khususnya di dalam sebuah keluarga.
Komentar
Posting Komentar